Mohon tunggu...
hesty kusumaningrum
hesty kusumaningrum Mohon Tunggu... Human Resources - swasta

seorang yang sangat menyukai film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tokoh Agama Seharusnya Beri Teladan, Bukan Mencederainya

23 Maret 2021   01:15 Diperbarui: 23 Maret 2021   02:28 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Awal Desember lalu, ratusan kota, kabupaten dan provinsi menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sungguh tidak mudah untuk menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemic seperti sekarang ini. Banyak pihak mendesak untuk mengundur pelaksanaan pesta demokrasi itu, namun dengan persiapan matang dan pelaksanaan yang menekankan protocol kesehatan akhirnya Pilkada dapat berjalan dengan baik.

Ratusan wilayah itu akhirnya berhasil memiliki kepala daerah. Sebagian wilayah merupakan wajah lama, namun sebagian adalah wajah baru. Sebagian kecil dari wilayah yang melaksanakan Pilkada, adalah calon tunggal karena tidak ada pasangan lain yang mengajukan diri menjadi calon pemimpin.

Dari semuanya ada puluhan wilayah yang ternyata terganjal persoalan, yaitu sengketa Pilkada dimana salah satu calon menggungat calon terpilih karena merasa ada yang janggal saat pelaksanaan Pilkada. Ada calon yang mendapati penggelembungan suara pemenang, ada yang mendapati ada praktek politik uang, tapi intinya ada pihak yang tidak sepakat soal hasil dengan berbagai alasan , sehingga bersengketa dan sengketa itu masuk ke Mahkamah Konstitusi.

Persidangan itu sendiri berjalan secara online, artinya secara fising tergugat dan penggugat serta hakim MK tidak berada di satu ruangan tetapi MK di Jakarta dan para tergugat di wilayah masing-masing. Sidang seperti ini lazim dilakukan pada masa pandemic seperti sekarang ini, seperti yang juga dilakukan di pengadilan tingkat negeri yang menyidangkan perkara criminal lainnya. Artinya tidak ada keistimewaan soal pemberlakukan sidang online, kecuali bahwa kesehatan warga di atas segala-galanya.

Baru-baru ini kita mendengar bahwa Muhammah Rizieq Shihab  (selanjutnya saya tulis MRS) menolak persidangan online dan meminta untuk melakukan persidangan secara offline . Sidang yang seharusnya digelar tanpa persoalan teknis itu dicederai dengan walk-outnya MRS di persidangan pertama. Ini membuat sidang ditunda dan pada sidang berikutnya MRS tetap menuntut untuk persidangan offline dan pihak pengadilan menegaskan bahwa persidangan akan tetap dilakukan secara online. Sejujurnya, sikap keras kepala ini mencederai reputasinya sebagai tokoh agama.

Apa yang kita bisa tarik dari peristiwa ini ? Dari ilustrasi yang saya tampilkan di atas menunjukkan bahwa persidangan secara online adalah hal yang lumrah dilakukan pada masa pandemic seperti sekarang ini, termasuk pada calon kepada daerah di persidangan MK, sampai pada pencuri mobil di pengadilan negeri.

Tidak ada yang istimewa di mata hukum dan setiap warga negara harus menaati keputusan hukum itu, sipapun orangnya. Terlebih dia adalah seorang yang dianggap tokoh di bidang agama dan memiliki pengikut yang banyak. Sejatinya dia harus memberi contoh dan teladan yang baik sebagai tokoh agama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun