Mohon tunggu...
hesty kusumaningrum
hesty kusumaningrum Mohon Tunggu... Human Resources - swasta

seorang yang sangat menyukai film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harmoni Membuat Benteng Lawan Radikalisme

14 Agustus 2020   09:35 Diperbarui: 14 Agustus 2020   09:31 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anda ingat bom yang dibuat oleh salah seorang pemuda di Solo. Bom yang dibuat sendiri itu rencannya diledakkan (bunuh diri) di salah satu kantor polisi di Solo, namun ledakannya tidak sempurna.

Kita mungkin juga ingat akan bom Surabaya yang menewaskan puluhan orang yang akan eribadah termasuk beberapa anak-anak. Bom yang meledak dan merupakan bom bunuh diri di tiga gereja itu dilakukan oleh satu keluarga dan melibatkan seluruh anggota keluarga, Ayah Ibu dan tiga anaknya termasuk anak perempuannya yang masih kecil. 

Belakangan diketahui bahwa keluarga ini punya seorang guru ngaji yang kemungkinan besar mengintesifkan pemikiran radikal yang dimiliki oleh kepala keluarga ini.

Fenomena ini juga terjadi pada keluarga di Batam. Dimana sang ayah yang merupakan direktur salah satu instansi pemerintah memutuskan bahwa keluarganya berangkat ke Syria dan bergabung pada ISIS. Beberapa contoh juga menunjukkan peran kepala keluarga dalam mengenalkan faham radikal kepada keluarga dan anak-anaknya.

Radikalisme terutama di bidang agama dibentuk oleh pikiran radikal. Pikiran radikal tumbuh dan berkembang dari sikap dan pemikiran yang eksklusif yang cenderung intoleran. Intoleran dan eksklusif ini sering menghasilkan rasa yang berbeda dengan yang lainnyasampai pada tindak kekerasan. 

Meski tidak semua orang yang bersikap eksklusif dan radikal bisa dan mampu melakukan terror atau pengeboman. Diperlukan suatu nyali dan keyakinan soal radikalisme itu sendiri sebagai bentuk hubungannya dengan yang dipercayainya itu karena semua teroris yang melakukan atas nama agama bertindak karena pikiran-pikiran radikal.

Sumber-sumber dalam agama dipercaya oleh orang radikal sering dimaknai secara harafiah; dilepaskan dari konteksnya, tidak mengikuti motodologi istinbath dan dilepaskan dari 'illat (factor) kekinian. Jadi jika ada ayat "Bunuhlah orang-orang kafir di mana pun kalian temukan mereka," maka tidak ada tafsir lain selain perintah menghunus pedang dan memanggul senjata. 

Jika ada ayat "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sebelum kalian ikuti agama mereka," maka tidak ada makna lain selain kita harus bersitegang dan curiga tanpa batas tanpa reserve.

Padahal jika mengikuti konteksnya dan memperhatikan faktor kekinian, maka keyakinan itu akan lebih lentur. Kelenturan itu bisa kita lihat para santri dan pemeluk agama Islam yang bermukim di Jawa terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur -- yang dimasa lalu nenek moyang mereka pernah bersentuhan dengan Wali Songo.

Beberapa pesantren dan pemeluk Islam di wilayah itu mengajarkan Islam dengan konteksnya dan melibatkan beberapa factor kekinian karena mereka umumnya sadar bahwa kondisi Nusantara (Indonesia) sangat berbeda dengan di Arab. 

Bahwa Indonesia memperoleh kemerdekaan setelah berjuang sekian lama melawan VOC yang merampok kekayaan alam kita dan pemerintah Belanda yang melakukan penindasan dengan melibatkan diri berperang dengan penduduk lokal dan menguras alam dan tenaganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun