Mohon tunggu...
hesty kusumaningrum
hesty kusumaningrum Mohon Tunggu... Human Resources - swasta

seorang yang sangat menyukai film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak dan Radikalisme

21 Juli 2019   13:18 Diperbarui: 21 Juli 2019   13:31 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: jalandamai.org

Seringkali kita tak sadar bahwa anak-anak kita yang lucu dan menyenangkan di rumah itu amat dekat dengan kekerasan. Pagi, kita bertemu ketika sarapan pagi dan malam, ketika makan malam atau untuk beberapa kepala rumah tangga, bertemu menjelang tidur malam. Semua aman, tentram dan damai.

Dari istri di rumah tak ada laporan yang mengindikasikan keanehan atau laporan dari sekolah yang mengindikasikan perilaku menyimpang. Semua kebutuhan tercukupi, termasuk kebutuhan yang menyangkut pendidikan. Semua terlihat biasa-biasa saja dan normal.

Mereka kadang bermain bersama antar anak tetngga atau anak saudara. Semuanya berlangsung normal, sampai seorang anak kita berkata kepada kerabat yang berbeda (keyakinan/agama) mengatakan bahwa mereka kafir dan tak mau bermain dengan dia karena berbeda. Ini tentu mengagetkan kita semua, karena lingkungan dimana kita tumbuh menawarkan perbedaan, dari perbedaan ekonomi sampai perbedaan keyakinan.

Setelah ditelusuri, pemahaman perbedaan keyakinan  yang tergolong identitas itu diperoleh sang anak dari sekolah. Beberapa guru mengajarkan bahwa agama sang anak berbeda dengan agama si X dan mereka disebut kafir dan keberadaan mereka yang berbeda keyakinan itu sangat berbeda dengan sang murid. Sang murid lalu dianjurkan bergaul hanya dengan orng-orang yang satu keyakinan saja. Pengajaran soal perbedaaan ini sering tidak disertai dengan pemberian konteks masalah sehingga murid atau anak kita menelan hal itu secara mentah-mentah.

Jika kita tilik lebih jauh, pengajaran kepada murid oleh guru seperti ini sebenarnya adalah intervensi keyakinan yang tidak pada tempatnya. Pengajaran indentitas (saya muslim, kamu Budha atau Hindu atau Kristen) tidak ditempatkan pada konteks ke-Indonesiaan. Secara tak langsung sang guru sama saja dengan memberikan pengajaran radikalisme kepada sang anak. Padahal pengajaran soal identitas jika diberi konteks keIndoensiaan, maka sang anak akan mengerti bahwa dirinya hidup dalam negara Indonesia yang dibangun dan direkatkan karena perbedaan.

Sementara itu sang anak menerima dengan polos. Celakanya pengajaran kepada anak kecil sampai remaja umumnya akan tertancap di benak mereka. Karena anak tetangga atau sepupu jauhnya berbeda keyakinan maka seperti yang diajarkan guru mereka, sebaiknya dijauhi. Singkat kata instirusi pendidikan dalam hal ini sekolah turut andil dalam menanamkan benih radikal di benak anak didiknya.

 Fenomena seperti ini mulai ada sejak lima sampai sepuluh tahun terakhir. Banyak sekolah berbasis agama yang menerapkan ajaran-ajaran agama tanpa memberi konteks sehingga berpotensi menumbuhkan radikalisme di lingkungan sekolah. Kita mungkin ingat beberapa buku ajar untuk SD yang ditengarahi membawa bibit radikalisme sehingga harus ditarik dari peredaran.

Sebagai orangtua mungkin kita harus lebih concern dengan hal ini. Mungkin kita harus selalu memantau secara periodik pengajaran-pengajaran yang diberi oleh guru. Kita juga harus waspada jika anak kita menunjukkan perilaku berbeda dengan sebelumnya. Jangan sampai kita kaget jika anak kita menjauhi anak sebayanya seraya mengatakan bahwa mereka kafir tanpa berempati pada perbedaan itu sendiri.  Ini adalah awal dari sikap radikal yang dimiliki oleh mereka.  Sudah selayaknya kita membentengi mereka dari bahaya ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun