Kampus bisa menjadi rumah kedua bagi mahasiswa, jika memang mereka menemukan aktivitas yang menyenangkan. Bahkan, tidak sedikit mahasiswa yang memilih menginap di dalam kampus dibandingkan pulang ke tempat kos. Aktifitas semacam ini memang lumrah terjadi. Apalagi jika mahasiswa tersebut aktif dalam organisasi kampus, atau aktif dalam kegiatan di dalam kampus. Karena kampus pada dasarnya bukan hanya saja sebagai tempat menuntut ilmu, tapi tempat untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama mahasiswa, dosen, ataupun masyarakat yang lain.
Kampus merupakan tempat bertarungnya berbagai macam ideologi dan paham-paham yang ada. Karena kampus pada dasarnya memang tempat yang dianggap netral, dimana mahasiswa bisa belajar berbagai hal. Tidak sedikit dari kelompok mahasiswa yang mendirikan organisasi di dalam kampus, berdasarkan ideologi yang diyakini. Apalagi sejak era reformasi, kampus menjadi tempat untuk belajar kritis. Bahkan kebijakan pemerintah pun juga sering dikritisi para mahasiswa.
Keterbukaan di dalam kampus ini, rupanya juga dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk mengembangkan ideologi yang mereka yakini. Di era 1980 an ideologi Islam trans nasional, seperti Hizbut Tahrir mulai masuk ke kampus-kampus. Kelompok ini mengklaim dirinya sebagai lembaga dakwah. Karena itulah segala aktifitasnya berhubungan dengan dakwah. Namun isi dari dakwah kelompok ini berbeda, karena ideologi yang diyakini pun juga tidak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia. Jika negeri ini menganut ideologi Pancasila, lembaga dakwah ini justru menganut khilafah. Pada titik inilah, bibit radikalisme dan intoleransi mulai masuk dikalangan mahasiswa.
Banyak pelaku teror yang mengenal radikalisme dari dunia kampus. Bahrunnaim yang saat ini bergabung dengan ISIS di Suriah, sebelumnya merupakan anggota HTI di Solo. Dia bergabung dengan HTI ketika masih menjadi mahasiswa di UNS, Solo. Ketika mahasiswa sudah terpapar paham radikalisme, ketika lulus bisa berpotensi bergabung dengan kelompok radikal, bahkan bisa menjadi teroris. Bahrumsyah misalnya, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memilih meninggalkan bangku pendidikan dan bergabung dengan Aman Abdurahman, pimpinan ISIS di Indonesia yang saat ini sedang menjalani tahanan. Bahrumsyah sendiri diperkirakan masih bersama Bahrunnaim di Suriah.
Saatnya membersihkan kampus dari bibit intoleransi dan radikalisme. Karena kampus itu tempat belajar mahasiswa dari berbagai tempat, semestinya kampus menjadi tempat untuk saling bertoleransi. Kampus harus menjadi tempat untuk belajar menerima keberagaman. Karena Indonesia ini merupakan negara yang berdiri diatas keberagaman, maka generasi penerusnya harus mau menghargai keberagaman itu sendiri. Dan pihak kampus, juga harus mampu menjadi pengawas dan bisa memastikan, segala aktifitas belajar mengajarnya terbebas dari bibit radikalisme.
Mari kita lihat QS An Nahl : 125, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu. Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesal dari jalan-Nya. dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." Ayat diatas harus menjadi panutan bagi setiap dosen, pendakwah, atau siapapun yang mengajarkan ilmunya ke masyarakat luas. Berilah pelajaran yang baik. Jika ada yang tidak sesuai, maka ingatkanlah juga dengan cara yang baik. Dan dalam kebaikan, tetap harus ada rasa saling menghargai antar sesama. Karena manusia itu tidak ada yang sama, maka belajar toleransi harus terus dikedepankan, tak terkecuali di dalam kampus.