Mohon tunggu...
Hesti Edityo
Hesti Edityo Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

Seorang ibu dari 4 lelaki hestidwie.wordpress.com | hesti-dwie.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terima Kasih untuk 'Omelan', Nasihat, dan Ajaranmu

2 Mei 2017   05:26 Diperbarui: 2 Mei 2017   09:19 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selamat Hari Pendidikan Nasional untuk semua!

Pendidikan tak akan lepas dengan profesi guru. Perjalanan hidup seseorang tak lepas dari peranan seorang guru. Entah guru dalam arti sesungguhnya sebagai sebuah profesi, atau seseorang yang kita anggap sebagai guru meski bukan sebagai profesi sesungguhnya. Guru sebagaimana orang Jawa bilang, digugu dan ditiru, alias dipercaya dan diikuti, yang secara umum bisa dianggap sebagai sosok panutan yang memberikan contoh. Tak jarang, sosok guru memberikan kesan yang dalam bagi seseorang. Termasuk saya. Tak berlebihan rasanya, bila kali ini saya ingin mengatakan terima kasih para guru saya atas omelan, nasihat, dan ajaran mereka, yang telah menjadikan saya seperti sekarang. Saya persembahkan tulisan ini untuk para guru saya, guru kehidupan dan guru saya dari TK hingga perguruan tinggi.

Guru pertama saya, tentu saja Ibu. Ibu yang juga berprofesi sebagai seorang guru bukan hanya mengajarkan materi-materi pelajaran sekolah, tapi mengajarkan banyak hal dalam hidup saya. Ibu yang telah “meracuni” saya untuk mengikuti langkah beliau menjadi seorang guru. Sejak kecil, dalam alam bawah sadar saya, cita-cita sebagai seorang guru secara tak langsung tertanam, saat saya melihat bagaimana Ibu di kelas. Kala kecil dulu, Ibu memang sering membawa saya ke tempat beliau mengajar, ikut masuk ke dalam kelas, sama halnya seperti saya mengajak anak saya sekarang.

Sempat, saat saya remaja, keinginan menjadi guru ini memudar. Bahkan, saat hendak memilih perguruan tinggi, sempat ada sedikit perdebatan dengan Ibu. Saya enggan masuk keguruan, tapi Ibu (dan wali kelas saya saat itu) menginginkan saya untuk melanjutkan ke UNNES. Sebuah pilihan yang pada akhirnya saya syukuri. Terima kasih dan salam takzim juga saya sampaikan untuk pak Azis, wali kelas saya saat duduk di kelas 2 dan 3 SMA, yang dulu pernah mengatakan, “Kowe pantese dadi guru.”.

Pak Azis, wali kelas saya selama 2 tahun adalah seorang guru agama Islam. Yang paling berkesan dari beliau adalah “dua buku pencatat kebaikan dan keburukan” anak-anak didiknya yang beliau miliki. Blue book adalah buku “pencatat kebaikan” dan red book buku “pencatat keburukan”. Jadi, dulu, setiap ada siswa yang terlambat kabur, selain kena sanksi, pak Azis akan bilang, “Catat di red book, ya!”. (Note, sejujurnya saya masih penasaran hingga kini, sebanyak apa catatan saya di red book beliau, karena seingat saya lebih sering masuk red book daripada blue book. Hehehehe).

Selain pak Azis, ada 1 lagi guru Agama Islam saya di SMA yang juga keren, pak Hartoyo. Saking kerennya cara beliau mengajar, teman-teman non muslim saya saat itu pun banyak yang memilih tetap tinggal di kelas saat pelajaran Agama Islam, meski sebenarnya diijinkan untuk keluar dari kelas selama pelajaran tersebut. Beliau guru yang dekat dengan alam, hobi mendaki dan konvoi dengan moge. Satu ajaran beliau yang masih saya ingat betul saat kelas 1, saat beliau menjawab pertanyaan tentang hubungan manusia purba dan nabi Adam.

“Nabi Adam termasuk manusia purba, bukan, Pak?” satu pertanyaan dari teman saya, yang biasanya tak pernah terjawab. Kala itu, pak Hartoyo mampu menuntaskan rasa penasaran itu dengan jawaban, “Buka surat Al Baqoroh saat Allah menciptakan nabi Adam dan baca sejarah tentang periode missing link.” Apa yang disampaikan pak Hartoyo mungkin akan memunculkan perdebatan panjang, mungkin dianggap sebagai teori konspirasi atau cocoklogi belaka. Tapi bagi kami, saya khususnya, penjelasan pak Hartoyo saat itu terdengar logis, dan beliau tidak menolak menjawab seperti halnya yang lain. Intinya, beliau sukses mengajak anak didiknya untuk menyelami apa yang dijelaskan dalam kitab suci tanpa harus alergi dengan ilmu pengetahuan. Satu lagi, seingat saya guru-guru Agama Islam saya tak ada satupun yang mengajarkan untuk memandang rendah penganut agama lain. Sungguh guru yang keren!

Soal guru yang keren, ada pula guru-guru SD saya dulu, di SD Negeri Lomanis 3 dan SD Negeri Cimanggu 2 (keduanya di Cilacap), yang super keren saat mengajar. Mereka bukan guru text book, yang hanya meminta muridnya mencatat dan menghafal saja. Ada bu Eni, guru kelas 3 saya di SD Lomanis, yang rajin sekali meminta murid-muridnya membawa sesuatu untuk diamati secara langsung. Saat belajar tentang bagian-bagian bunga, beliau akan meminta kami membawa bunga sepatu dan menunjukkan mana kelopak, benang sari, dan putik. Atau saat diminta untuk mencari perbedaan tumbuhan dikotil dan monokotil, kami diminta membawa berbagai macam biji-bijian. Mungkin saat itu belumlah populer istilah metode pembelajaran discovery dan inquiry, tapi beliau-beliau ini sudah menerapkannya. Begitupun guru-guru saya di SD Cimanggu. Ada bu Elis, guru kelas 5, yang mengajarkan kami drama, mencontohkan kami berakting dan tak malu memeragakan di depan kelas. Cara beliau mengajarkan tentang konsep tata surya, dan menunjukkan bukti bahwa bumi itu bulat pun keren. Dengan bola berbagai ukuran (sebagai bumi dan bulan) dan sebuah senter sebagai matahari, kami mudah memahami mengapa ada pergantian siang dan malam, mengapa gerhana bisa terjadi. Juga ada pak Bejo, guru kelas 6 saya, yang total membimbing hingga rela berkeliling hampir tiap malam ke rumah-rumah kami, sekedar memastikan, benarkah kami belajar kelompok bersama seperti permintaannya.

(Note: saya pernah sangat sedih, saat sulung saya masih kelas 4 SD, dan gurunya meminta murid-muridnya menghafalkan bagian-bagian tulang manusia lengkap dengan istilah latin, tapi tak pernah menunjukkan secara real model-model tulang tersebut. Padahal bobot materinya hampir sama dengan materi Biologi kelas X SMA).

Bagaimana di SMP dan di perguruan tinggi, adakah guru atau dosen yang sangat berkesan buat saya? Tentu ada. Banyak, bila ingin saya ceritakan satu persatu. Ada pak Gunadi, guru Bahasa Inggris saat SMP, yang super galak dan selalu mewajibkan kami menjawab salam dalam bahasa Inggris. Ada pak Endang, guru matematika yang menyenangkan saat menjelaskan, membuat saya begitu jatuh cinta dengan ‘Persamaan Kuadrat’. Pak Edi, guru Bahasa Indonesia yang juga penulis buku, yang dulu sering menyemangati saya, “Terus belajar menulis, ya.”

Menjadi guru yang humanis, satu contoh yang saya dapatkan dari sosok pak Sri Hendratto. Dosen Termodinamika, yang sekaligus menjadi pembimbing akademik saya. Pernah, saat saya down, nyaris menyerah untuk tetap melanjutkan kuliah, beliau bersikap sebagai seorang bapak kepada anaknya. “Ora usah pindah, Nduk. Kamu bukannya nggak bisa, tapi belum menemukan cara yang tepat. Bapak bantu cari caranya, ya, tapi janji, tetap melanjutkan kuliah di sini.”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun