Mohon tunggu...
Hery Wibowo
Hery Wibowo Mohon Tunggu... Layanan Pendidikan Keluarga

Belajar bersama membangun keberfungsian paripurna

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pendidikan Terjaungkau dan Kapabilitas Sentral

18 Februari 2025   08:50 Diperbarui: 18 Februari 2025   15:03 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Demo Pelajar Papua (Sumber Regiona Kompas)

Pada saat warga Indonesia sedang riuh rendah mencerna makna dari program unggulan pemerintah saat ini, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG), sejumlah siswa Papua menyetak perhatian. Ratusan siswa Yahukimo Pegunungan (kompas.com 06/02/2025, 12:12 WIB) melakukan aksi demonstrasi menolak program MBG. Mereka berteriak, bahwa yang (paling) dibutuhkan adalah pendidikan yang bermutu Pendidikan yang mampu mencerdaskan mereka. Pendidikan yang mampu mengubah hidup mereka.


Perhatian Pemerintah
Pemerintah, mungkin boleh saja memutuskan terkait apa yang menjadi kebutuhan utama warga negara, khususnya anak-anak. Pemerintah sangat boleh memiliki keinginan untuk membahagiakan rakyatnya. Namun demikian, perlu selalu diperhatikan bahwa setiap masyarakat hidup dalam konteks kebutuhannya, dan konteks kehidupannya sendiri-sendiri. Sehingga, upaya menangkap denyut nadi kehidupan masyarakat adalah hal yang vital. Kombinasi kebijakan top down dan bottom up menjadi keniscayaan.
Teriakan ratusan siswa dari ujung timur Indonesia tersebut, seakan menggugah kesadaran kita, tentang apa yang paling bernilai buat mereka, apa yang paling prioritas bagi mereka. Strategi ataupun upaya mengenali terkait apa yang bernilai bagi individu, dan juga bagi keluarga dan masyarakat, oleh Amartya Sen dikonsepkan sebagai pendekatan berbasis kapabilitas (capability).
Kapabilitas Sentral


Ya, sekali lagi kapabilitas, adalah konsep penting dalam membedah apa yang terjadi dalam masyarakat. Kapabilitas menurut Amarty Sen (Sunaryo & Hasan, 2024) dimaknai sebagai the actual ability to achieve those things the she has reason to value. Pendekatan ini hadir sebagai antithesis dari kebiasan sejumlah negara untuk mengukur segala sesuatu secara ekonomistik (pendapat perkapita, pengeluaran bulanan dll). Perspektif ini hadir untuk membuka pemahaman sempit yang berasumsi bahwa kesejahteraan material adalah satu-satunya hal yang paling bernilai bagi manusia.
Terkandung dalam konteks pendekatan berbasis kapabilitas ini, tiga dimensi utama yaitu kemampuan untuk meraih (ability to achieve), kemudian perhatian pada nilai  (value) dan proses penalaran kritis (critical scrutiny). Artinya, setiap individu sejatinya punya kemampuan mandiri untuk mensejahterakan dirinya. Maknanya, selalu ada potensi besar dalam setiap insan manusia untuk membangun kualitas hidupnya
Amarty Sen (Sunaryo & Hasan, 2024) menjelaskan bahwa konsep kapabilitas sangat berhubungan dengan kualitas hidup (quality of life) yang menyangkut kesehatan (health), kesejahteraan (well being) dan kebahagiaan (hapiness)


Ketiga hal inilah, yang diperlukan bagi setiap individu warga negara. Artinya, negara perlu hadir, untuk memastikan setiap warga negara punya kapabilitas untuk mencapai/memenuhi apa yang dinilai berharga bagi mereka. Warga negara, dimandirikan, dimampukan untuk memiliki kapabilitas sentral (central capability) atau kemampuan dasar membangun kualitas hidup (minimal). Lemahnya kapabilitas, dinamakan deprivasi kapabilitas (capability deprivation). Sehingga, orang miskin misalnya, bukan hanya dimaknai sebagai mereka yang berpendapatan dibawah sekian rupiah, namun mereka yang mengalami deprivasi kapabilitas. Makanan ada, namun mereka tidak mampu mengaksesnya. Pendidikan ada, namun tidak mampu diakses. Mereka adalah orang yang tidak bisa (belum punya cukup kemampuan/kapabilitas) meraih hal yang mereka anggap penting dan bernilai bagi hidup mereka.

Hal Penting
Maka, hal yang penting diprioritaskan, sejatinya adalah membangun kapabilitas anggota masyarakat, agar mereka mampu mencapai apa yang dinilai paling penting buat mereka, yaitu (diantaranya) adalah kualitas hidup (quality of life)
Barangkali yang diinginkan oleh sebagian saudara-saudara kita di Papua, yaitu, lebih menghendaki program pendidikan bermutu untuk meningkatkan kapabilitas dan kualitas hidup, dibandingkan dengan makan siang gratis, adalah cambuk pengingat bagi kita semua. Walaupun sekali lagi, keingingan pemerintah untuk membagiakan warganya, membantu gizi warganya adalah baik dan perlu diapresasi.


Namun demikian, setelah ini berjalan sekian bulan (baca tulisan DR. Dr. Tan Shot Yen, dalam kolom.kompas.com, tentang penerapan MBG, mengapa terburu-buru) tidak ada salahnya untuk mengevaluasi tentang, misalnya, apa kebutuhan utama dari suatu masyarakat di daerah tertentu. Sebagai contoh, jeritan siswa Papua yang menggores kesadaran terkait pentingnya pemerintah (kembali) mempertimbangkan dimensi kapabilitas, yaitu upaya memampukan masyarakat untuk memiliki kapabilitas individu dan masyarakat untuk meraih menggapai mencapai apa yang paling bernilai bagi mereka. Hal ini juga menumbuhkan kesadaran pentingnya melakukan pengukuran (assesment) terhadap apa yang paling diperlukan/dibutuhkan.
Sehingga jika diibaratkan, bukan hanya memberi mereka ikan untuk makan. Bukan sekedar juga memberikan kail untuk mereka bisa memancing ikan sendiri. Namun, jika perlu, bagaimana merubah industri perikanan itu sendiri, sehingga terbuka ruang dan kemungkinan strategi dan program untuk membangun kapabilitas masyarakat.


Betul ada upaya untuk memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun perlu dipertimbangkan bahwa yang disebut adil tidak harus seragam. Perlu disadari bahwa kebutuhan tiap individu dan keluarga pada konteks kedaerahan atau kewilayahan yang berbeda, bisa sangat bervariasi. Bantuan-bantuan yang bersifat "ikan", atau upaya memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, mungkin diperlukan untuk level atau status kondisi yang darurat. Diberlakukan pada kondisi tertentu.
Namun demikian ketika mereka secara ekonomi mampu hidup normal, punya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, maka yang perlu diutamakan adalah peningkatan kapabilitas (capability). Piramida Maslow yang terkenal itu, mengingatkan bahwa kebutuhan manusia itu bertingkat. Artinya setelah kebutuhan paling bawah terpenuhi, manusia siap dan termotivasi untuk memenuhi (secara mandiri) level kebutuhan yang lebih tinggi seperti apresiasi dari orang lain, ataupun untuk mengaktualisasikan potensinya.


Pendidikan Bermutu dan Terjangkau
Maka, pendidikan -hampir pada semua situasi dan konteks- adalah penting. Nelson Mandela, pada berbagai kesempatan selalu menegaskan bahwa pendidikan adalah senjata yang paling kuat, yang dapat digunakan untuk mengubah dunia. Ya, pada titik paling dasar, pendidikan wajib bermanfaat untuk membangun kapabilitas dasar individu. Kapabilitas, yang memampukan pemiliknya untuk meraih hal yang paling bernilai dalam hidupnya. Efisiensi penting, untuk alokasi anggaran bagi sektor yang paling membutuhkankan. Namun pendidikan, adalah kebutuhan dasar untuk mempertahankan sebuah bangsa, agar bangsa tersebut mampu memastikan keberlanjutkan kemajuannya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun