Mohon tunggu...
Hery Sinaga
Hery Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil

-Penulis konten -saat ini sedang suka-sukanya menggeluti public speaking -Sedang menyelesaikan buku motivasi -karya novel : Keluargaku Rumahku (lagi pengajuan ke penerbit)

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cerita Lirih Pasien Isolasi Mandiri

4 Februari 2021   23:03 Diperbarui: 4 Februari 2021   23:12 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: isolasi mandiri, karantina mandiri, corona, covid-19(Shutterstock)

Adanya anggapan bagi setiap orang yang terpapar virus covid-19 adalah sebuah aib yang sebisa mungkin jangan ada orang yang tau bahwa dia terpapar virus corona. Karna akan ada konsekuensi sosial yang harus diterima.

Namun diujung sana, ditengah proses isolasi mandiri yang dijalani teman saya Budi, dia harus mengalami beragam cerita lirih hari demi hari selama menjadi pasien isolasi mandiri.

Pada suatu waktu ketika Budi meminta bantuan dari temannya untuk bisa menghantarkan keperluan persediaan makanan maupun obat, temannya itu hanya bisa meletakkan di depan pintu atau menggantungkan di gagang pintu rumahnya, dan dia hanya bisa mentap dari jendela kaca rumahnya tanpa bisa bersua bertatap muka apalagi sekedar berbicara.

Begitu hari demi hari ketika ada teman atau sanak saudara yang menghantarkan makanan atau obat, hanya bisa meletakkan didepan pintu dan menggantungkan di gagang pintu rumahnya.

Belum lagi ketika secara tidak sengaja, Budi melihat jendela belakang rumah dari tetangga nya tidak ada satupun yang terbuka. Tidak seperti biasanya sebelum Budi terpapar covid-19, deretan rumah tetangganya, selalu membuka jendela rumah bagian belakang.

Mungkin dia sudah menyadari bahwa tetangganya sudah mengetahui kalau Budi sudah terpapar virus. Jadi mereka sebisa mungkin membentengi dirinya dengan menutup rapat-rapat celah termasuk jendela untuk menghindari masuknya virus dan bisa menulari mereka.

Hanya bisa tersenyum dalam hati, dan miris melihat sikap yang ditunjukkan oleh tetangganya dengan menutup jendela rumah nya. Merasa miris bukan karena tindakan mereka menutup pintu jendela, tetapi miris melihat pemahaman tetangganya yang tidak memahami secara utuh tentang bagaimana penularan virus corona itu kepada orang lain. Pemahaman yang tidak utuh itu mengakibatkan paranoid yang berlebihan.

Tetapi Dalam hati nya yang paling dalam dia bisa memaklumi dan memahami psikologis dari tetangganya itu. Dia maklum kalau mereka, anak-anak mereka merasa khawatir dan takut kalau-kalau bisa tertular melalui udara yang walaupun sebenarnya seseorang itu bisa tertular itu hanya bisa melalui droplet atau percikan air ludah dari seorang yang sudah terpapar virus corona.

Dalam hatinya ada sebuah harapan, bahwa ketika nantinya dia sudah menjadi seorang penyintas, dia ingin menjadi bagian terdepan memberikan bantuan moril dan semangat bagi mereka-mereka yang menjalani isolasi mandiri.

Sehingga tidak ada lagi yang merasakan cerita lirih selama menjalani isolasi mandiri seperti apa yang dirasakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun