Mohon tunggu...
Herry Febriyantsiana
Herry Febriyantsiana Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja seni

Mengejar matahari

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menjaga Keseimbangan Ekosistem

17 Juli 2013   00:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:27 1745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13739992361410771464

Saat Walisanga membangun Masjid Demak di sekitar lokasi pembangunan terjadi insiden. Seekor ko-dok yang tengah mencari makan menda-dak disergap ular. Sang Kodok meronta di mulut ular dan tinggal dimangsa. Saat itu Sunan Kalijaga lewat. Kodok pun tak melepaskan kesempatan itu. Ia me-rintih berharap Sunan Kalijogo meno-longnya agar lepas dari mulut ular. Mende-ngar rintihan memelas itu, Sunan Kalijaga berkata, “hu…hu…hu.” Kaget, sang Ular segera melepaskan mang-sa dari mulutnya. Ia merasa per--bua-tannya hendak memangsa kodok ditegur dengan perkataan itu. Namun ia pe-nasaran sebab yang ia lakukan sudah merupakan hukum alam bahwa ular makan kodok. Karena itu ia protes, “apa-kah hukum alam telah berubah Kanjeng Sunan? Bukankah sudah suratan ular makan kodok dan sudah takdir kodok dimakan ular?” Sunan Kalijogo tepekur lalu menja-wab, “hai Ular aku hanya bilang hu…hu…hu…maksudnya huntalen (makanlah),” katanya. Sang Ular pun tercenung, mohon maaf atas kebodohannya mendebat Kan-jeng Sunan yang termasyhur itu. Ia lalu me-nyingkir dari hadapan. Sementara itu sang Kodok juga lantas bertanya, “apakah maksud hu wahai Sunan?” Sunan Kalijaga, menjawab, ”hu-culna (lepaskan),” katanya deng-an senyum dikulum. Sang Kodok pun mafhum dan gembira menerima kebijakan Sunan Kalijaga. Namun setelah itu dunia binatang gem-par. Mereka memperdebatkan mana yang benar tentang makna “hu” apa-kah “hun-talen” atau “huculna”? Ini penting, se-bab, pemaknaan itu berkaitan deng-an hukum alam, berkaitan dengan keseim-bangan ekosistem. Karena tidak ter-ca-pai kata sepakat mana yang benar, para binatang itu lalu memutuskan untuk menanyakanya langsung kepada Sunan Kalijaga. “Wahai Sunan Kalijaga, manakah yang benar ‘huntalen’ atau ‘huculna’?,” ta-nya sang Harimau mewakili para binatang itu. Menghadapi demo para binatang itu Sunan Kalijaga dengan tenang menja-wab,” ‘hu’ dapat berarti ‘huntalen’ maupun ‘huculna’. Keduanya sesuai kehendak Ular dan Kodok. Sila­kan kamu berdua berihtiar me­nentukan nasib ma­sing-masing. Wahai para he­wan, hukum alam ditentukan oleh Allah bukan oleh ihtiar atau kehendak kita. Takdir ditentukan oleh Allah. Huwallaah, hu­wallaah, huwallaah (Dia­lah Allah),” jelas Sunan Kalijaga. Ia melanjutkan, apabila Allah menakdirkan sang Kodok itu hidup, maka tiada kuasa sang Ular untuk menelannya. Namun bila Allah mentakdirkan sang Ko­dok dimakan Ular, maka tak ada kuasa sang Ular melepaskan sang Kodok walau dia ingin melakukanya. Sungguh Allah berkuasa atas segala makhluk-Nya. Namun begitu setiap mah­luk wajib berihtiar, se­bab, dengan jalan ihtiar itu­lah mahluk mengetahui takdirnya. Inilah hukum alam atau sunatullah. Dengan hukum inilah keseimbangan ekosistem dijaga. Keseimbangan ekosis­tem itu sendiri terjadi pa­da masa ketika hewan pe­ma­kan tumbuhan atau her­bivora tidak berlebihan memakan tumbuhan. Seiring dengan itu hewan pemangsa (carnivora) tidak besar-besaran memang­sa serta parasit tidak membunuh populasi inangnya tanpa batas. Penggunaan bahan ki­mia kini telah banyak me­ng­­ubah keseimbangan eko­sistem karena memutus rantai makanan secara ber­lebihan. Akibatnya, mu­suh alami semakin ber­ku­rang. Terjadilah pemusnahan jasad renik dan hewan-hewan pengurai zat anor­ganik menjadi orga­nik secara besar-besaran sehingga dalam jangka pan­jang mengganggu kese­im­bangan ekosistem, terutama karena bahan orga­nik yang diperlukan untuk kesuburan tanah menjadi sedikit. Apa yang dilakukan Su­nan Kalijaga dengan man­tra “hu” tak lain ia­lah menjaga keseimbangan eko­sistem dengan hukum alam. Kodok tetap merupa­kan mangsa ular, namun apakah sang Kodok benar berhasil dimangsa sang Ular tergantung situasi dan kondisi. Untuk masa kini metode Sunan Kalijaga ini mungkin mengalami metamorfose menjadi metode biologis. Metode ini erat kaitannya dengan kelangsung­an ekologi maupun habitat tanaman. Sebab, selain mengurangi tanpa bahan kimia, metode biologis ini lebih diarahkan pada pengendalian alami dengan membiarkan musuh-musuh alami tetap hidup. Dampaknya mungkin baru dirasakan setelah sekian lama, namun metode ini lebih aman dan akan menciptakan keseimbangan eko­sistem yang ada. Ekosistem terkait deng­an rantai makanan, yakni proses saling memakan antar makhluk hidup da­lam satu ekosistem. Misal­nya dalam ekosistem sawah, padi dimakan serangga, serangga dimakan kodok, lalu kodok dimakan ular, ular dimakan burung elang dan akhirnya konsumen terakhir akan dimakan oleh bakteri pengurai. Dalam hubungan ini kodok adalah predator atau pemangsa serangga, dan ular menjadi predator bagi kodok dan seterusnya. Hu­kum alam menjamin ke­ter­­sediaan mata rantai ma­kanan secara seimbang se­hingga ekosistem terjaga. Sementara eksploitasi alam maupun pemberanta­san hama dengan menggu­nakan zat kimia cende­rung merusak mata rantai ma­kanan secara berlebihan sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem. Pada gilirannya ekosistem yang rusak akan menimbulkan bencana, yang tak lain upaya alami mencapai keseimbangan baru dengan cepat dan berlebihan pula.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun