Mohon tunggu...
Herya Media
Herya Media Mohon Tunggu... -

Penulis, Editor, Penerbit, Self-Publishing House, Komunitas Kreatif HeryaMedia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pilih Jualan Buku di Toko Buku Besar atau Toko Ritel (Mandiri)?

13 Februari 2014   08:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ditanya soal diatas, pasti jawabannya akan beda-beda. Wajar jika tiap orang punya preferensinya masing-masing. Lha wong ini negara demorasi kok, katanya. Tapi, jika pertanyaan tersebut disodorkan kepada Anda, pilih yang mana? Ach, itu kan pekerjaannya (dan pilihannya) penerbit? Saya penulis, kerjanya ya cuma nulis?

Barangkali Anda menjawab demikian. Jangan takut dipersalahkan, toch banyak juga kok yang beranggapan begitu. Bahwa tugas seorang penulis hanya mengerjakan naskah yang bagus, sesuai EYD dan tentu saja yang terpenting diserap pasar. Kalau sudah begitu, ya tentu saja kami tidak bisa berbuat banyak dan tak perlu juga melanjutkan membaca artikel ini. Artikel ini khusus ditulis bagi penulis yang memiliki naluri bisnis (writerpreneurship), bahwa menulis bukan hanya menghasilkan tulisan yang bisa dibaca dan diapresiasi banyak pihak namun juga dapat menambah pundi-pundi kekayaan (bagi yang sudah kaya) atau membantu membayar utang-utang (bagi yang punya utang).

Okelah bagi mereka yang menulis dianggap sebagai hobi atau sekadar iseng dan kondisi ekonominya sudah mapan (artinya tidak menggantungkan hidup dari kegiatan tulis-menulis) tak memikirkan cara pemasaran naskah yang cukup pening diatas tidaklah masalah. Tapi bagi Anda yang menjadikan kegiatan menulis untuk sumber pemasukan tambahan atau bahkan sumber utama maka konsep writerpreneurship harus dipegang erat. Mau tak mau Anda harus memikirkan cara efektif penjualan buku Anda.

Kembali ke soal pemasaran buku, penerbit-penerbit mayor hampir pasti memasarkannya ke toko buku Gramedia, Gunung Agung, Kharisma. Sebagian penulis juga menganggap bahwa memasarkan buku di toko buku besar memberikan kebanggaan tersendiri. Pertanyaannya: apakah kebanggaan bisa ditukar-guling dengan uang? Tentu tak masalah jika buku Anda nongkrong di Gramediadengan data penjualan mencengangkan bahkan masuk kelas best seller. Nah, bagaimana kalau sebaliknya?

Begini hitung-hitungannya, sebuah judul buku untuk dapat masuk ke Gramedia harus cetak minimal 2000-3000 eksemplar. Biayanya bisa nembus Rp 25-30 jutaan. Sedangkan Gramedia meminta upeti sebanyak 55% dari harga buku pereksemplar buku yang kejual. Berarti Anda dan penerbit hanya kebagian sisanya (45%). Parahnya, Anda sebagai penulis yang berkuasa atas konten tuch buku biasanya hanya dapat 10% royaltinya. Adilkah menurut Anda?

Sebagai perumpaan, kami berikan dua contoh. Pertama jika Anda menerbitkan buku di penerbit mayor dan jika Anda menerbitkan buku secara mandiri dengan pemasaran utama ke toko buku Gramedia. Untuk kasus pertama, penerbit yang setuju menerbitkan naskah Anda mencetak 3000 eksemplar. Harga buku sebut saja Rp 50.000. Kemudian dijual di Gramedia. Penjualannya, katakanlah, per enam bulan sekitar 200 eksemplar. Maka hitung-hitungannya seperti ini:

Buat Gramedia= 200 x Rp 50.000 x 55%

= Rp 5.500.000

Buat penerbit= 200 x Rp 50.000 x 35%

= Rp 3.500.000

Buat penulis= 200 x Rp 50.000 x 10%

= Rp 1.000.000/ 6 bulan

Pertanyaannya: cukupkah uang sejuta membiayai hidup Anda selama 6 bulan?

Nah, sekarang bagaimana jika menjual ke pasar-pasar ritel?

Sebelumnya, kami ingin menceritakan kisah nyata seorang sarjana agama yang gemar menulis. Dia naskahnya berulang kali ditolak oleh penerbit mayor dengan berbagai alasan (alasan yang utama tentu saja naskahnya tidak marketable, tidak menjual katanya). Iapun berfikir keras bagaimana caranya supaya naskahnya tetap terbit pun dengan penjualan yang bagus. Maka sampailah pada kesimpulan bahwa ia harus menerbitkan naskahnya sendiri (self-publishing).

Secara mandiri iapun kemudian menerbitkan naskahnya. Setelah terbit, ia mengontak sejumlah agen buku yang tersebar di seluruh Indonesia. Ia dapatkan alamat agen-agen tersebut dari majalah-majalah, informasi teman dan seterusnya. Singkat cerita, bukunya yang diterbitkan mandiri itu terjual dengan angka cukup menggembirakan. Iapun kian semangat dan memacu dirinya untuk menerbitkan karya berikutnya. Buku keduapun terbit. Dipasarkan dengan cara serupa.

Dan amazing, bukunya yang berjudul “Kudung Gaul Berjilbab Tapi Telanjang” mampu terjual sampai 100.000 eksemplar. Anda bayangkan 100.000 eksemplar! Berapa keuntungan si penulisnya? Ya tinggal kalikan saja 100.000 x Rp 15.000 (harga buku tersebut). Berarti dia dapat Rp 1,5 miliar. Karena dia menerbitkan sendiri berarti uang segitu tidak dibagi lagi untuk toko buku, untuk penerbit dan seterusnya. Paling terkurangi oleh biaya promosi dan diskon agen (kami kira untuk itu tidaklah terlalu besar).

Mungkin Andapun mendebat: tapi kan sangat sulit menembus penjualan puluhan ribu bahkan ratusan ribu eksemplar dalam kondisi pasar perbukuan di Indonesia yang jauh dari greget?

Oke kami jawab ya! Kami ilustrasikan tidak muluk-muluk bahwa Anda bisa menyamai penjualan buku 100.000 eksemplar. Kita bandingkan saja antara menerbitkan buku secara mandiri dengan menerbitkan buku di penerbit mayor. Jika Anda menerbitkan buku di penerbit mayor, Anda mendapatkan royalti hasil kerja keras menulis Rp 1 juta per enam bulan (hitung-hitungan diatas). Uang satu juta itu Anda dapatkan setelah buku Anda laku 200 eksemplar. Lalu kita bandingkan dengan kondisi jika Anda menerbitkan buku secara mandiri (menunjuk Herya Media sebagai self-publisher Anda misalnya).

Maka dengan asumsi harga buku Rp 50.000, cukup dengan menjual 20 eksemplar saja Anda sudah mendapatkan uang Rp 1 juta. Masa sih dalam sebulan Anda tak berhasil menjual buku sendiri sebanyak 20 eksemplar? Dalam sebulan, misal, rata-rata Anda berhasil jual 20 eksemplar. 6 bulan dapat berapa? Berarti 6 kali lipatnya alias Rp 6 juta. Dan hebatnya lagi, karena Anda menerbitkan sendiri maka uang hasil penjualan buku tersebut hanya dipotong oleh biaya produksi.

Sebut saja, biaya produksi buku pereksemplarnya Rp 20.000. Berarti Anda sudah mengantongi Rp 30.000 pereksemplarnya atau sekitar 60%. Perbandingannya dengan menerbitkan di penerbit mayor dan dijual di Gramedia kan jauh sekali 1 : 6.

Makanya, jangan bingung atau galau ketika naskah Anda ditolak penerbit mayor dan tidak dijual di Gramedia. Masih banyak jalan untuk menerbitkan buku sendiri yang berkualitas tentunya baik untuk tujuan bisnis maupun hanya sekadar keren-kerenan, eksis, kenangan, kado dan seterusnya.

Jika memerlukan bantuan untuk menerbitkan buku Anda jangan sungkan untuk mengontak kami ya di heryamedia@yahoo.com atau weblog: www.heryamedia.wordpress.com.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun