Mohon tunggu...
Heru Yulian
Heru Yulian Mohon Tunggu... Penulis - Sang Homichlophile

Seorang bebas, berpikir untuk berkarya, bernafaskan literasi, bermandikan kabut pengetahuan. Hitam abu-abu mungkin telah cukup menggambarkan diri. Sekarang atau tidak, kita hidup untuk untuk waktu ini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Opini | Dasar Lintah, Menyedot Tanpa Kontribusi

15 Agustus 2019   07:46 Diperbarui: 15 Agustus 2019   11:25 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi | Lintah Beasiswa

Suatu pagi ku termenung, memang biasa aku merenung namun pagi itu agak panjang durasi dan jangkauannya. Kita tahu, di zaman yang dipenuhi oleh kemudahan ini kita dapat menemukan berbagai macam Beasiswa. Begitu banyak kesempatan bagi anak bangsa untuk mengenyam pendidikan tinggi tanpa perlu mengeluarkan uang sepeserpun. 

Tak hanya S1, tetapi juga S2 bahkan hingga ke jenjang Doktral. Pihak yang menjadi sponsor beasiswa dapat berasal dari pemerintah ataupun swasta . Mulai dari Bidik Misi, PPA, Tanoto Foundation, Sampoerna, Kader Surau, KSE, Djarum dan masih banyak lagi.

Tidak hanya dari dalam negeri, pemerintah dan swasta luar negeri juga ikut meramaikan khazanah beasiswa di negeri ini. Deretan beasiswa ternama seperti Chevening, Erasmus Mundus, Fullbright, Mext dan lain-lain telah lama mengambil perannya sebagai sponsor beasiswa. 

Ku pikir itu adalah berkah, bisa berkuliah di dalam bahkan di luar negeri tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mereka-mereka yang berhak mendapatkannya.

Kadang aku berpikir, buat apa para sponsor ini mengeluarkan banyak uang yang tidak sedikit demi menyediakan dana beasiswa.  Uang milyaran rupiah yang mereka keluarkan, buat apa? apakah ada benefitnya bagi mereka? Bukankah jika dipikirkan secara sederhana mereka malah merugi? 

Aku berandai, bukankah uang sebanyak itu lebih baik digunakan untuk membangun sekolah yang bagus seperti yang sudah dilakukan Chairul Tanjung dengan CTF-nya? kenapa tidak menambah guru saja untuk daerah-daerah pelosok? kenapa tidak membangun ruang baca gratis di daerah terluar yang bahkan tidak tersentuh listrik? Kenapa mereka malah memberikan dana sebanyak itu untuk para mahasiswa?

Panjang renungan ini, berputar-putar dan kembali di tempat. Pertanyaan demi pertanyaan muncul, tapi semakin banyak pertanyaan malah makin buntu hasilnya. Lalu aku teringat sebuah sejarah, setengah abad silam, Malaysia yang baru saja merdeka jauh tertinggal dari Indonesia dalam bidang pendidikan. 

Malaysia bahkan mengirim para pemuda terbaiknya ke Indonesia untuk belajar. Namun setelah era itu, keadan berbalik. Pendidikan malaysia melesat. Peringkat universitas-universitas negeri jiran tersebut jauh berada di atas perguruan tinggi kita. Kini, banyak pula pemuda Indonesia berbondong-bondong untuk belajar di sana. 

Begitu juga dengan Jepang, negeri ini pernah luluh lantak akibat tragedi pengeboman nuklir di Hiroshima dan Nagasaki. Tapi mereka tidak tinggal diam, mereka masih punya pemuda-pemuda yang siap dikirim ke negara manapun untuk belajar. 

Selang beberapa dekade, seperti yang sama-sama kita ketahui bahwa negara yang dulunya rusak berat, tidak punya lahan, tidak subur dll telah bermetamorfosis menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia. Kebudayaannya sangat mempersona sampai-sampai membuat pemuda dalam negeri tertarik akannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun