Mohon tunggu...
Herumawan P A
Herumawan P A Mohon Tunggu... Lainnya - Pernah menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Menyukai olahraga sepakbola, sedang belajar menjadi citizen Juornalism dan suka menulis apapun. Mulai dari artikel sepak bola, cerita remaja, cerita pendek, cerita anak hingga cerita misteri.

Asli wong Jogja. Sekarang tinggal di Sleman.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Belajar Sabar dari Sepak Bola

4 September 2011   15:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:14 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_128190" align="aligncenter" width="400" caption="Sumber gambar: facebook.com"][/caption] Ketika melihat berita tentang kerusuhan sepakbola antara Persib Bandung melawan Arema Indonesia di LSI pada musim lalu, ditambah pemukulan seorang pemain Semarang United terhadap wasit yang memberinya kartu merah di LPI ketika melawan Bogor FC, setengah musim lalu membuat saya mengelus dada. Lalu timbul sebuah pertanyaan mendasar, apakah rasa sabar sudah tidak ada lagi di bumi Indonesia ini? Rasanya memang begitu. Coba saja lihat, sekarang ini di semua aspek (bukan hanya dalam bidang olah raga saja), kita cenderung lebih menggunakan emosi daripada hati ataupun logika.

Di sepak bola, salah satu contohnya seperti ketika pertandingan pada musim lalu antara Persib Bandung melawan Arema Indonesia yang berkesudahan 1-1. Namun sempat terhenti beberapa menit di babak kedua akibat kerusuhan suporter. Padahal kedatangan suporter ke stadion diharapkan menyemarakan sekaligus menambah motivasi para pemain yang sedang bertanding.

Lalu mengapa kerusuhan suporter di Indonesia sering terjadi? Jawabannya ada dua faktor. Faktor pertama, kepimpinan wasit yang cenderung berat sebelah. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, wasit yang memimpin pertandingan akan lebih memihak tuan rumah kecuali kalau pertandingannya disiarkan langsung di televisi. Namun itu tidak bisa dijadikan jaminan wasit akan bertindak adil. kerusuhan suporter di Indonesia juga bisa. Faktor kedua, para pemain sendiri bermain tidak bagus sehingga mengakibatkan klub atau tim yang dibelanya kalah.

Seharusnya para pemain tak perlu memikirkan apupun diluar sepakbola ketika sedang bertanding. Seperti belum dibayarkannya gaji atau kepemimpinan wasit. Klub sebesar Barcelona pun pernah menunggak gaji para pemainnya gara-gara keuangan klub sedang defisit. Namun apakah para pemain Barcelona lantas tampil “loyo” di lapangan hijau? Tidak, mereka tampil bagus dan sebagian lagi pemain rela gajinya dipotong. Hasilnya bisa dilihat pada musim lalu, klub Barcelona duduk di peringkat teratas Primera Division La Liga Spanyol.

Soal kepemimpinan wasit, janganlah terlalu merisaukan atau memikirkannya. Ketika bertanding di lapangan hijau, perhatian para pemain harus benar-benar fokus pada permainan. Salah satu contohnya dengan mencoba bermain tenang dan sabar. Karena dengan sedikit lebih tenang dan bersabar dalam bermain, para pemain akan manpu mengubah hasil akhir suatu pertandingan. Ada banyak contohnya.

Ingatkah kita pada final liga Champion 2005 antara Liverpool dengan AC Milan? Ketika itu, AC Milan sudah unggul 3-0 di babak pertama dan merasa sudah berada di “atas angin”. Sementara Liverpuldian (pendukung Liverpool) sudah terlihat putus asa. Memasuki babak kedua, Liverpool bermain spektakuler dengan memasukan tiga gol ke gawang AC Milan. Sehingga pertandingan pun terpaksa dilanjutkan ke babak Extra Time. Namun karena hasil tetap imbang, maka adu pinalti sebagai pilihan terakhir. Pada babak adu pinalti, AC Milan terpaksa mengakui keunggulan Liverpool.

Namun ada yang lebih fantastis lagi yakni pada final liga Champion 1998/1999 antara Bayern Munchen melawan Manchester United. Mengapa disebut fantastis? Karena Bayern Munchen yang sudah unggul 1-0 hingga injury time babak kedua terpaksa menelan kekalahan dari Manchester United. Karena dua gol masing-masing dari Ole Gunnar Solksjaer dan Teddy Sheringham bersarang di gawang Bayern Munchen pada penghujung injury time babak kedua.

Mengapa kedua “keajaiban” itu bisa terjadi? Karena para pemain Liverpool dan Manchester United ketika itu mampu bermain tenang dan sabar. Mereka bermain tanpa beban dan tidak memikirkan apapun keputusan wasit. Kalaupun mereka mendapatkan kartu pada pertandingan, hal itu memang wajar. Tak perlulah sampai memukul wasit.

Seorang pemain profesional sekalipun tidak sepantasnya melakukan perbuatan memalukan itu. Seharusnya pemain profesional lebih bisa bersabar dan mengomtrol emosinya. Kita bisa belajar kepada para pemain liga-liga eropa yang bisa bersabar dan meredam emosinya. Kita tentu saja masih ingat bagaimana marahnya Didier Drogda (Chelsea) kepada wasit yang tidak memberikan pinalti di semifinal liga Champion melawan Barcelona beberapa tahun lalu. Namun dia tidak sampai memukulnya.

Atau ketika Rafael, salah satu pemain pemain belakang Manchester United yang mendapatkan kartu merah ketika klubnya melawan Tottenham Hotspur di liga Inggris musim lalu. Dia sempat marah kepada wasit namun tidak sampai memukulnya. Jadi apa yang salah dengan para pemain sepak bola di Indonesia yang sampai memukuli, menendang bahkan mengeroyok wasit? Jawabannya karena para pemain sepak bola di Indonesia terkadang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka bisa melatih mengendalikan emosi sekaligus belajar sabar dari sepak bola. Semoga mereka segera menyadarinya……..

(Telkomsel Ramadhanku)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun