Kain tradisional seperti batik dan tenun, zaman dulu pewarnanya berasal dari alam baik dari tanaman maupun binatang. Macam warna yang diperoleh tentu terbatas. Misal warna coklat dari soga sehingga disebut sogan, warna biru dari indigofera, dan warna lain dari kayu-kayuan seperti tegeran, tingi, secang dan mahoni. Seiring waktu, pewarna sintetis atau zat warna sintetis (ZWS) yang biasanya untuk mewarnai kain di pabrik, menjadi alternatif dan banyak dipakai pula untuk mewarnai batik dan tenun ini. Ini dengan alasan lebih mudah dan cepat serta warnanya lebih stabil dan warna lebih cerah dan beragam.Â
Namun demikian, ada dampak negatif yang perlu dipertimbangkan yaitu pengaruhnya terhadap lingkungan karena zat warna sintetis ini kurang ramah lingkungan. Issue terkini tentang lingkungan mengharapkan dalam suatu proses menggunakan bahan yang environment friendly, sehingga pewarna alami kembali dilirik dan digunakan untuk pewarna batik dan tenun. Penggunaan zat warna alami (ZWA) ini memang memerlukan usaha yang berlebih dibanding penggunaan ZWS. Tahapannya harus membuat ZWA terlebih dahulu dan pewarnaan kainpun perlu berkali-kali untuk mendapatkan warna yang tegas. Bahkan perlu 4 sampai 5 kali pewarnaan ulang. Namun demikian, mengingat pentingnya kita kembali ke produk yang ramah lingkungan maka proses yang lebih rumit bukanlah suatu kendala.
Bagaimana warna terikat di kain? Â Molekul zat warna adalah gabungan dari zat organik yang tidak jenuh, khromofor sebagai pembawa zat warna dan auksokrom sebagai pengikat antara warna dan serat. Gugus khromofor adalah gugus azo, nitroso, nitro dan gugus karbonil. Gugus auksokrom adalah kation dan anion.
ZWA dapat dipakai untuk mewarnai kain apabila bahan kain tersebut dimordan terlebih dahulu. Proses mordan atau mordanting ini terbentuknya ikatan kooordinat semi polar antara elemen logam yang berfungsi sebagai aseptor (penerima) terhadap pemberi elektron (donor). Jadi dalam pewarnaan kain, gugus pembawa warna khromofor dan gugus pengikat warna auksokrom sangat diperlukan.
Zat mordan yang digunakan biasanya adalah tawas, tunjung atau besi sulfat dan air kapur.Â
Bagaimana proses pengambilan ZWA?
ZWA biasanya berada pada tanaman baik dari akar, batang, daun, buah, biji, dan kulit buah. Zat warna tersebut diekstraksi atau proses leaching agar zat warna terekstrak dari padatan keluar dengan menggunakan solven atau pelarut. Pelarut yang dipakai dapat air atau etanol. Namun yang sering digunakan adalah jika menggunakan pelarut air, Â karena mudah diperoleh dan langsung bisa dipakai untuk mewarnai kain.Â
Proses Ekstraksi Â
ZWA akan mengalami perpindahan massa dari dalam padatan menuju ke bulk larutan. Proses ekstraksi zat warna ini dapat berlangsung sempurna tergantung dari selektivitas pelarut yang digunakan dan pemilihan pelarut ini harus tepat. Banyaknya zat warna yang terekstrak akan tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi seperti : suhu ekstraksi, waktu ekstraksi, perbandingan volum pelarut dengan berat bahan serta ukuran bahan.
Suhu ekstraksi semakin meningkat akan menyebabkan kenaikan kelarutan ZWA ke zat pelarutnya. Pada suhu yang tinggi molekul-molekul pelarut memiliki energi kinetik yang tinggi, namun suhu tinggi ini harus diperhatikan apakah akan merusak ZWA atau tidak.