Mohon tunggu...
Rahmat HerryPrasetyo
Rahmat HerryPrasetyo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis lepas dan editor freelance.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kritikus "Gagal Paham" dan Pajak Royalti di Masa Pandemi

19 Agustus 2020   16:43 Diperbarui: 19 Agustus 2020   16:47 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia politik dan ekonomi tidak pernah habis berkisah tentang keseruannya. Itu karena di dua bidang kehidupan tersebut bercokol banyak ahli, yang tidak selalu sejalan dalam pendapat, juga tidak selalu beriringan dalam bergerak. Ada adu argumentasi, ada saling serang kritik yang sangat tajam.

Politik dan ekonomi juga memberikan setidaknya dua sudut pandang yang berbeda, satu sebagai penguasa dan satu lagi sebagai oposisi atau yang berlawanan. Di sinilah lahir banyak bentuk kekuasaan, dan di sisi lain, banyak pula bentuk kritikan.

Namun, mengapa banyak kritik terasa tak mempan dan pihak yang berkuasa atau yang sedang diberi amanah untuk memimpin negeri ini seakan tidak mau mendengarkan kritik?

Berbicara tentang kritik yang kemudian memunculkan banyak kritikus masa kini, saya teringat satu tokoh besar yang namanya tak akan hilang ditelan zaman. Seorang kritikus hebat di dunia sastra, HB Jassin. Sepertinya, menurut saya, hanya HB Jassin-lah yang diakui sebagai kritikus besar, bahkan mendapat julukan hebat, Paus Sastra Indonesia.

Saya lalu mencoba mencari jawab, mengapa para tokoh hebat, terutama di bidang politik maupun ekonomi, yang rajin mengkritik pemerintah, khususnya pribadi Presiden Joko Widodo (Jokowi), seakan tidak bisa berbuat banyak? Setidaknya ini beberapa pendapat saya.

Pertama, dilandasi sakit hati. Beberapa nama yang sering muncul di panggung politik atau ekonomi dan bersuara lantang dengan kritik-kritik mereka, dikenal publik merupakan orang-orang yang pernah kalah bersaing dengan Jokowi. Di sinilah muncul ungkapan "Barisan Sakit Hati".

Jika publik sudah mencap mereka sebagai orang kalah dan sakit hati maka sehebat apa pun kritik mereka, sangat sulit didengar secara objektif. Oleh karena itu, sebenarnya diperlukan figur baru yang lebih jernih, cerdas, dan kreatif dalam memberikan kritik kepada pemerintah. Cara ini akan lebih berhasil karena bisa didengar semua pihak, baik yang pro maupun kontra Jokowi. 

 Kedua, kritik tanpa dilandasi analisis matang. Tidak jarang kritik dilandasi dengan asumsi buruk, berita bohong, fitnah, kebencian, lalu dilontarkan sesuka hati dengan tuturan yang tak bermutu bahkan tidak sopan, juga meremehkan. 

Di sinilah saya sering kali heran, banyak tokoh berpendidikan, kenapa menjadi "gagal paham"? Bukankah mereka adalah para tokoh yang ahli di bidang masing-masing, seharusnya memahami esensi kritik yang sesungguhnya? Mengapa makna kritik menjadi dipelintir, disimpangkan, demi tujuan mereka sendiri; bukan bertujuan sebenarnya, memperbaiki situasi dan kondisi yang terjadi?

Ketiga, sekadar eksis. Kalau tidak beda, tak akan dikenal. Kalau tidak berani kritis, tak akan disenangi kawan. Mungkin itu yang membuat para kritikus yang seharusnya bisa mengkritik dengan hebat menjadi tak hebat; yang penting muncul, eksis, dan bisa diekspos di mana-mana.

Keempat, sayalah yang mungkin gagal paham dengan menuliskan artikel ini. Isi tulisan ini juga menjadi tak bisa dipisahkan dari kritik itu sendiri. Saya memposisikan diri sebagai pengkritik yang mengkritik para kritikus hebat, yang punya latar belakang hebat di bidangnya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun