Masih lekat dalam ingatan saat harus pindah rumah dari perumahan di desa Jamblangan ke rumah baru di Randugowang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman. Saat itu, Genduk, puteri sulung, yang menetap di Jakarta, berpesan  agar kami sebagai orang tua  mengubah mindset terhadap rumah. Rumah bukanlah tempat menumpuk barang, tetapi tempat hidup bersama secara nyaman.
"Bapak-Ibu kalau bisa tidak usah membawa barang-barang saat pindah. Rumah yang akan ditempati nanti lebih sempit dibandingkan rumah lama. Tidak mungkin memuat semua barang dari rumah lama. Kalau bisa, bapak-ibu cukup membawa koper berisi pakaian secukupnya," pinta Genduk lewat telepon.
Situasi ini menyebabkan kami harus berpikir keras, pandai-pandai  menata dan memasukan barang-barang ke rumah berukuran lebih kecil.
Tentu saja saran dari anak-anak menjadi bahan pertimbangan serius, sehingga kami memilih rumah minimalis dengan lokasi cukup strategis. Rumah itu kemudian saya beri tetenger Omah Ampiran- siapa saja boleh mampir untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan  kreativitas.
Saat akan pindah, lagi-lagi anak-anak memberi catatan khusus. Lemari jati kuno, dua lemari pajangan (bufet), kursi malas besi, tiga almari buku, empat kursi  beserta meja tamu, tempat tidur kayu, yang semua berukuran besar dan berat, tidak boleh dibawa.
Saya menyadari kalau barang-barang "kuno" itu memang tidak akan mudah masuk dan mendapatkan tempat selayaknya di rumah baru. Lemari jati tidak mungkin  melewati pintu utama (dengan lebar hanya delapan puluh centi meter), kursi tamu berukuran besar juga tidak cocok menempati ruang tamu minimalis.Â
"Sebelum masuk rumah baru, bapak-ibu harus menyeleksi barang-barang yang benar-benar fungsional. Jangan nyusuh. Tidak perlu  membawa barang hanya demi kenangan masa lalu. Atau berpikiran eman-eman kalau dibuang. Rumah kita sempit, jangan lagi kita hidup berhimpitan dengan barang-barang yang sesungguhnya sudah tidak berguna," ujar anak-anak dengan sangat hati-hati saat rapat keluarga.
Piring, mangkok, panci, oven, baju pantas pakai, diberikan Ibu Negara Omah Ampiran ke saudara dan tetangga. Tiga oven besar dan puluhan loyang, pernah menghidupi kami sebelum Covid menerpa, berpindah tangan ke saudara.Â