Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Antisipasi Hoarding: Lupakan Barang Kenangan

6 Mei 2025   07:46 Diperbarui: 6 Mei 2025   08:19 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah minimalis/Foto: Hermard

Masih lekat dalam ingatan saat harus pindah rumah dari perumahan di desa Jamblangan ke rumah baru di Randugowang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman. Saat itu, Genduk, puteri sulung, yang menetap di Jakarta, berpesan   agar kami sebagai orang tua  mengubah mindset terhadap rumah. Rumah bukanlah tempat menumpuk barang, tetapi tempat hidup bersama secara nyaman.

"Bapak-Ibu kalau bisa tidak usah membawa barang-barang saat pindah. Rumah yang akan ditempati nanti lebih sempit dibandingkan rumah lama. Tidak mungkin memuat semua barang dari rumah lama. Kalau bisa, bapak-ibu cukup membawa koper berisi pakaian secukupnya," pinta Genduk lewat telepon.

Rumah lama/Foto: Hermard
Rumah lama/Foto: Hermard
Rumah lama yang kami tempati berdiri di atas lahan  seratus lima puluh meter persegi dengan luas bangunan seratus meter persegi. Sedangkan rumah baru, luas tanahnya nyaris sama dengan rumah lama, hanya saja luas bangunannya  cuma enam puluh meter persegi.  

Situasi ini menyebabkan kami harus berpikir keras, pandai-pandai  menata dan memasukan barang-barang ke rumah berukuran lebih kecil.

Keterbatasan ruang/Foto: Hermard
Keterbatasan ruang/Foto: Hermard
Saat mencari rumah, anak-anak  menyarankan   membeli rumah minimalis agar perawatannya  mudah, mengingat   usia semakin menua (pensiunan). Di samping  tetap mempertimbangkan lokasi yang dekat dengan fasilitas umum: rumah sakit, ATM, pom bensin, supermarket, kantor kelurahan, pasar, dan taman untuk joging.

Tentu saja saran dari anak-anak menjadi bahan pertimbangan serius, sehingga kami memilih rumah minimalis dengan lokasi cukup strategis. Rumah itu kemudian saya beri tetenger Omah Ampiran- siapa saja boleh mampir untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan  kreativitas.

Saat akan pindah, lagi-lagi anak-anak memberi catatan khusus. Lemari jati kuno, dua lemari pajangan (bufet), kursi malas besi, tiga almari buku, empat kursi  beserta meja tamu, tempat tidur kayu, yang semua berukuran besar dan berat, tidak boleh dibawa.

Saya menyadari kalau barang-barang "kuno" itu memang tidak akan mudah masuk dan mendapatkan tempat selayaknya di rumah baru. Lemari jati tidak mungkin  melewati pintu utama (dengan lebar hanya delapan puluh centi meter), kursi tamu berukuran besar juga tidak cocok menempati ruang tamu minimalis. 

"Sebelum masuk rumah baru, bapak-ibu harus menyeleksi barang-barang yang benar-benar fungsional. Jangan nyusuh. Tidak perlu  membawa barang hanya demi kenangan masa lalu. Atau berpikiran eman-eman kalau dibuang. Rumah kita sempit, jangan lagi kita hidup berhimpitan dengan barang-barang yang sesungguhnya sudah tidak berguna," ujar anak-anak dengan sangat hati-hati saat rapat keluarga.

Koleksi majalah terpaksa pindah tangan/Foto: Hermard
Koleksi majalah terpaksa pindah tangan/Foto: Hermard
Meskipun terasa berat, tapi pemikiran anak-anak memang benar.  Buku,  dan majalah tiga lemari yang saya koleksi sejak kuliah, mau tidak mau, disumbangkan ke teman-teman. Tumpukan koran selama beberapa tahun yang memuat berita peristiwa sastra dan kebudayaan pun terpaksa di-kick!

Piring, mangkok, panci, oven, baju pantas pakai, diberikan Ibu Negara Omah Ampiran ke saudara dan tetangga. Tiga oven besar dan puluhan loyang, pernah menghidupi kami sebelum Covid menerpa, berpindah tangan ke saudara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun