Masih melekat dalam ingatan saat penghapusan jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA), ilmu pengetahuan sosial (IPS), dan bahasa pada jenjang sekolah menengah atas (SMA) pada tahun ajaran baru 2024/2025. Saat itu Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbud Ristek Anindito Aditomo mengemukakan alasan penghapusan  penjurusan di SMA karena menimbulkan ketidakadilan.
Menurut Anindito, orangtua memiliki kecenderungan memasukkan anaknya ke jurusan IPA agar memiliki pilihan program studi yang lebih luas ketika mendaftar di perguruan tinggi.
Dulu saat penjurusan di SMA, pertengahan tahun 1970-an, saya memang memilih jurusan IPA karena jurusan itu menjanjikan bisa mengikuti tes perguruan tinggi masuk di fakultas apa pun, termasuk jurusan dengan penekanan ilmu sosial maupun  ekonomi.
Saya memilih jurusan IPA pun sekadar mengikuti kata hati dan latah karena sering mendengar perkataan orang tua yang menginginkan anaknya menjadi dokter, pilot, dan insinyur. Bukankah untuk memenuhi cita-cita itu, mau tidak mau, sebagai siswa (sekaligus anak), kita harus masuk ke jurusan IPA?
Mengapa juga orang tua menginginkan anaknya menjadi dokter, pilot- dan tidak ada satu pun yang menginkan anak mereka menjadi jurnalis, psikolog, atau seniman? Jangan-jangan yang dipikirkan orang tua terhadap anak-anak mereka adalah kehidupan mapan, bergelimang harta, kepintaran, bukan skill (kecakapan) anak.
Celakanya di Indonesia, memang orang-orang pandai selalu lahir dengan ijazah perguruan tinggi dari jurusan kedokteran, teknik, kehutanan, dan (entah mengapa) mereka mempunyai nasib lebih baik dalam mencapai cita-cita bisa hidup mewah.Â
Sementara yang kuliah di jurusan sosial, pada umumnya hanya mampu hidup di garis berkecukupan, kecuali mereka mempunyai skill yang diakui masyarakat luas dan pengambil kebijakan penyelenggara negara.
Ah, seandainya saya masuk ke IPS, pasti mendapatkan bea siswa karena tingkat kepandaian kami sebelum penjurusan sangat seimbang. Bahkan kalau mau sombong, kepandaian saya sedikit lebih baik di atasnya.
Meskipun begitu, saya menghibur diri, ingin masuk Fakultas Biologi dan tidak ada pilihan lain selain berkutat di bidang IPA!
Keinginan itu  pada akhirnya  goyah juga karena pada semester awal kelas tiga, guru bahasa Indonesia memberi nilai rapor yang bagi saya tidak masuk akal.Â
Ulangan harian selalu mendapat nilai tujuh puluh sampai delapan puluh lebih, tetapi di rapor tercantum nilai kurang dari tujuh puluh.