Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenang Ujung dan Beberapa Cerita dari Desa

20 April 2025   07:33 Diperbarui: 20 April 2025   16:42 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ujung ke keluarga Pak Wardjoko/Foto: Hermard

Salah satu tradisi masyarakat Jawa, dalam konteks lebaran, dikenal dengan istilah ujung (ujung-ujung)- dapat dimaknai “dari ujung ke ujung”, melebur dosa dari kerabat yang sepuh, berlanjut ke kerabat muda.

Ujung merupakan upaya merekatkan peseduluran, kekeluargaan, serta saling memaafkan.

Bagi sebagian masyarakat desa, utamanya di pinggiran kota Yogyakarta, ujung bukan sekadar bersilaturahmi saling memaafkan, tetapi lebih dari itu, merupakan kepedulian terhadap orang lain dan kebersediaan berbagi cerita di ruang tamu.

Meskipun sudah pindah dari desa Jamblangan, Seyegan, Sleman, beberapa tahun lalu, tapi dapat dipastikan saya dan Ibu Negara Omah Ampiran, setiap lebaran pasti melakukan ujung ke desa Pundong, Mlati, Sleman, bersebelahan dengan desa Jamblangan. Jika tidak dilakukan, terasa ada semacam kerinduan yang tetap menganga tidak terobati.

Pada hari lebaran pertama (31/3/2025) sore hari, saya bersama Ibu Negara Omah Ampiran, Genduk plus suaminya, ujung ke Pundong menemui keluarga Pak Wardjoko, Pak Wondo, dan Pak Yanto. Pertemuan ujung selalu diawali dengan basa-basi, bertukar kabar, berbagi cerita, baru masuk acara inti permintaan maaf.

Kali ini di kediaman Pak Wardjoko, kami mendapat cerita seru mengenai kehebatan si Narima, seekor sapi penurut. Satu dari dua belas ekor sapi lainnya piaraan Pak Wardjoko.

Tabungan sapi/Foto: Hermard
Tabungan sapi/Foto: Hermard
Injih Mas, sapi menika asmanipun Narima. Lha namung manut, dinapak-napakaken nurut. Mlampah tebih, ngluku, didusi, mboten rewel- Iya Mas, sapi ini saya beri nama Narima. Karena selalu nrima, nurut diperlakukan apa saja. Jalan jauh, membajak sawah, dimandikan, tidak rewel,” ujar Pak Wardjoko saat kami berada di kandang sapi.

Sapi jantan gagah dengan bobot mencapai sembilan kwintal, berumur belum genap lima tahun, dan tingginya melebihi Mas Bibit, sudah ditawar sampai di angka tujuh puluh juta.

Narima/Foto: Hermard
Narima/Foto: Hermard

Lha kula le ngopeni awit cenger. Sapine manutan. Disukani pakan napa mawon doyan. Setahun niki kulo sukani telo, injih purun. Komboran dedak kalih kalajana njih telas. Eman-eman menawi disade- Saya merawatnya sejak bayi merah. Ia tidak rewel. Diberi makan apa saja tidak menolak. Setahun ini diberi ubi juga mau. Makanan dedak dicampur kalajana juga disikat habis. Tidak sampai hati kalau harus menjual,” jelas Mas Bibit, putra Pak Wardjoko.

Komboran (comboran) merupakan pakan sapi (baik berupa dedak, bekatul, rumput, jerami atau kalajana) yang dicampur air hingga serupa bubur. Bisa juga komboran dengan bahan singkong yang sudah direbus.

Dapur komboran/Foto: Hermard
Dapur komboran/Foto: Hermard
Sapi itu lalu dibawa ke halaman depan, diikatkan dekat gerobak sapi. Gerobak sapi dimanfaatkan keluarga Pak Wardjoko untuk mengangkut berbagai hasil panenan (padi, kacang, ubi, pakan ternak), mengangkut wisatawan (dari Omah Kecebong) keliling desa seputar Cebongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun