Pada rezim digital seperti sekarang ini, hampir semua orang memiliki media sosial. Kehadiran media sosial bagai sarapan pagi. Begitu bangun tidur, hal pertama yang diraih adalah handphone (gawai) untuk melihat media sosial dan berita terbaru di media online.Â
Kalau zaman dulu orang mencatat dengan malu-malu peristiwa penting yang dialami ke dalam buku harian, maka karena wolak-walike zaman, kini orang "mencatatkan" segala aktivitasnya tanpa malu-malu ke halaman (feed) media sosial, entah itu berupa foto, teks, maupun video.
Sudah menjadi pemandangan lazim, kemanapun kita pergi, orang-orang sibuk dengan gawai mereka: Â memotret, merekam, ngonten, demi media sosial. Bahkan ada yang rela menantang maut agar apa yang terpampang di media sosial menjadi viral, banyak mendapatkan like dari followers.Â
Kegandrungan ini menyebabkan orang memuat apa saja dalam media sosial, termasuk masalah yang sangat pribadi dengan berbagai tujuan: menarik perhatian, mengundang simpati, mendapatkan pujian, decak kagum, meningkatkan brand image, dan lainnya.Â
Terkadang ada yang sampai lupa diri, ingin pamer kekayaan, kekuasaan, dan  jabatan (suami). Maka tak heran jika kemudian muncul berbagai kasus berkaitan dengan gaya  hidup mewah, penyelewengan jabatan/kekuasaan versus masalah hukum yang bersandar pada bukti-bukti di media sosial.
Pada konteks inilah masyarakat dituntut bijak memanfaatkan media sosial karena segala sesuatu yang terpampang di media sosial  menjadi jejak digital yang tak mudah dihapus dan menjadi konsumsi umum.
Menyembunyikan Diri
Kesadaran terhadap ekses negatif jejak digital, membuat  beberapa pengguna media sosial mencoba membatasi dan menyembunyikan diri agar tidak semua orang dapat melihat unggahan mereka  dengan jalan membatasi relasi hubungan lewat privatisasi.
Cara lain yang sering ditempuh adalah dengan menyamarkan/mengganti nama, tidak mencantumkan nama sebenarnya dalam akun media sosial. Biasanya yang digunakan merupakan nama aneh-aneh dan followernya pun memiliki  nama yang tak kalah aneh.
Bisa saja seseorang memiliki dua akun Instagram, misalnya, Â satu untuk menjaga citra diri (dengan menggunakan nama sebenarnya) dan satunya sekadar dimanfaatkan sebagai media hura-hura (dengan mencantumkan nama palsu).
Tidak dapat dipungkiri jika media sosial dapat merepresentasikan diri bahkan sengaja digunakan untuk meningkatkan branding image seseorang. Jadi jangan galau jika media sosial dimanfaatkan sebagai background checking oleh pihak tertentu, baik perusahaan maupun perorangan, dalam menilai seseorang.Â