Gerakan Indonesia Menulis  diinisiasi  Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun  2014 dengan gagasan mengajak remaja Indonesia menulis. Berangkat dari gagasan itu, sampai tahun 2023, lahir beragam gerakan literasi di Indonesia. Meskipun demikian, ternyata banyak siswa dan mahasiswa atau masyarakat luas yang tetap merasa asing dengan kegiatan menulis, mereka takut-takut untuk menciptakan karya tulis.
Sesungguhnya apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika  mendengar kata menulis? Kata itu setidaknya mengingatkan saya pada ungkapan bijak  "Sucribo Ergo Sum".Â
Dalam bahasa Indonesia, ungkapan tersebut bisa diterjemahkan secara bebas "karena aku menulis, maka aku ada" atau "aku ada karena aku menulis". Artinya, tanpa menulis kita tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ini sejalan dengan pernyataan Pramoedya Ananta Toer: Orang boleh pandai setinggi langit, tapi tanpa menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.
Jadi, menulis  merupakan sesuatu yang penting karena tulisan memungkinkan  adanya berbagai peradaban dan kebudayaan.
Ahli antropologi Perancis, Claude Levi-Strauss menyatakan bahwa tulisan membawa manusia pada suatu kesadaran  lebih jelas terhadap masa lampau, masa kini, dan masa  akan datang. Kenyataannya,  jarang orang merenungkan pentingnya tulisan bagi kehidupan umat manusia.Â
Orientasi seperti ini perlu dikoreksi ulang jika kita ingin mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Pada titik inilah konteks Gerakan Indonesia Menulis menjadi sangat penting dan semestinya diberi tempat  seluas-luasnya, mendapat perhatian  berbagai pihak.
Di sisi lain, gerakan ini dapat memberikan formula bahwa menulis itu mudah dan dapat dilakukan oleh siapa pun. Menulis tidak tergantung pada bakat, tetapi lebih tergantung kepada motivasi dan kesungguhan seseorang untuk berlatih (menulis) secara terus-menerus.
Menulis merupakan keterampilan dan keterampilan itu bisa dipelajari. Artinya, semua orang bisa jadi penulis. Secara guyon maton, Arswendo Atmowiloto mengatakan bahwa menulis itu gampang karena yang diperlukan hanya menggerakan tangan, memusatkan perhatian, dan mempunyai ide - merupakan modal awal kegiatan menulis.Â
Tentu saja ide akan berkembang biak dalam kepala seseorang jika ia rajin membaca "teks kehidupan" dan selalu mencermati lingkungan sekitar. Orang bijak menyatakan, tulislah apa yang engkau rasakan, pikirkan, dan alami.
Untuk membina kelahiran penulis-penulis baru, diperlukan dukungan pengayom, misalnya saja instansi pemerintah yang peduli pada gerakan literasi guna mengembangkan kemampuan menulis.Â
Dari pengamatan saya, di Yogyakarta ada beberapa instansi yang peduli terhadap peningkatan kemampuan menulis siswa, mahasiswa, maupun masyarakat umum. Instansi tersebut antara lain Balai Bahasa Yogyakarta lewat program tahunan Bengkel Bahasa dan Sastra, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah dengan kegiatan Pelatihan Menulis dan Fasilitasi Penerbitan Buku, serta Dinas Kebudayaan melalui Sekolah Sastra Uni-Uni (Bertemu dengan Maestro).