proses kreatif penulisan yang berbeda-beda dan hal ini sah adanya. Satu kesamaannya, semua penulis melewati proses pembacaan terhadap "teks kehidupan" untuk mendapatkan ide. Tidak mungkin seseorang menjadi penulis tanpa membaca.Â
Masing-masing penulis, misalnya saja Mas Irwan, Om Tonny, Mas Andi, Ibu Roselina, Abah Sunan, Neng Itha, Mbak Indah, Mbak Hennie, pasti memilikiAda anekdot yang sempat saya baca: Mau pintar tanpa membaca? Jadilah seekor keledai! Meskipun demikian, bisa saja ide datang dari pengalaman masa lalu, pengamatan, maupun gundahnya perasaan.
tulisan dengan menuliskan draf kasar berupa tulisan tangan di kertas. Setelah tiga atau empat paragraf (tulisan belum selesai), baru tulisan tangan saya pindahkan ke gawai. Tentu dalam proses pemindahan (alih media) terjadi penyesuaian-penyesuaian, baik berkenaan dengan EYD, Â kesesuaian dengan KBBI, maupun pemilihan kata (diksi).
Selama ini saya membiasakan diri mengawali
Ketika sudah berada di gawai, barulah tulisan saya selesaikan sampai tuntas. Proses berikutnya adalah membaca dalam rangka finalisasi lewat self editing yang lebih cermat, tidak hanya terbatas pada masalah kebahasaan, tetapi melebar sampai "kebenaran" materi yang dituliskan.Â
Jika masih dirasa janggal, mengambang, kurang greget, maka hal yang saya lakukan  adalah memperkaya referensi, memperbanyak bacaan berkaitan dengan ide tulisan yang dipaparkan.
Saat tulisan sudah ditransfer ke  format  "Tulis Artikel"  Kompasiana, sebelum tayang, saya akan membacanya lagi dua sampai tiga kali untuk meyakinkan  sudah tidak ada lagi kesalahan.Â
Jika sudah tayang dan masih ada kesalahan atau diksi kurang pas, saya akan melakukan edit ulang. Biasanya kesalahan lebih berkaitan dengan unsur kebahasaan.
Bagaimana para sedulur, apakah saya termasuk orang yang "absurd" dalam menghadirkan tulisan? Sekali lagi, bukankah proses kreatif menulis seseorang dengan orang lainnya tidak akan sama? Hal terpenting, jangan pernah berhenti menulis! Jadikanlah menulis sebagai candu...
Tiba-tiba wajah Najwa Sihab berkelebat, "Inilah pengabdian di jalan yang sepi, perjuangan yang sering kali tak bertepi," katanya berbisik.
Aku lalu berpikir, Â apakah menulis juga merupakan pengabdian di jalan sepi tak bertepi?