Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pikiranmu adalah Harimaumu

20 Maret 2023   14:45 Diperbarui: 20 Maret 2023   15:35 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersandiwara/Foto: Hermard

Hidup adalah perjalanan dari panggung ke panggung. Dari sandiwara ke sandiwara. Setelah panggung diramaikan Juragan Shampo, disusul sandiwara orang kaya  suka pamer harta lewat media sosial. 

Tentu sandiwara ini melukai hati para pengamen dan orang-orang pinggiran yang tak dapat membayangkan segarnya affogato, butterscotch cappuccino frappe; lezatnya veal sausage, Australian beef tenderloin steak, dan croque mademe. Bagaimana bisa membayangkan, lha mengeja daftar menu itu saja susahnya setengah mati!

Belakangan ini panggung sandiwara kita diramaikan sosok guru, wong cilik bernama Akang Maneh. Ia viral karena keusilannya. Ia dipecat karena persoalan diksi yang diduga kurang patut.

"Makanya jangan suka njaplak! Nulis neko-neko. Apalagi berhadapan dengan elite, priyayi, ningrat. Bisa celaka tiga belas!" suara hatiku mengingatkan.

Aku terbayang kembali nasib sekarat Kang Badrun, Kodir, Pardal, Yu Tumini, Jeng Sari yang lapak jualannya diangkut aparat karena melanggar perda. Sekencang apa pun teriakan mereka, aparat tetap tak peduli. Bagi mereka peraturan adalah peraturan. Dan nasib jelek bukan urusan mereka! Wong cilik, tetap saja tak berdaya, meskipun mereka membela diri demi perut anak-anak yang kelaparan.

Begitu juga nasib Akang Maneh. Ngapa juga dia harus kritis mempersoalkan penampilan priyayi. Sebagai guru ia dianggap tak pantas berujar kasar. Di sisi lain, bukankah guru merupakan sosok yang harusnya dapat digugu lan ditiru? Harus mampu menjaga etika dan norma?

"Sebenarnya masalahnya tidak sesederhana itu. Akang Maneh harusnya tak usah mempersoalkan warna," celoteh suara hatiku.

Kali ini benar juga yang dikatakan suara hatiku. Harusnya Akang Maneh tak usah mempersoalkan jas warna kuning yang dikenakan priyayi. Apalagi mengaitkan warna dengan posisi seseorang sebagai pejabat, kader partai, atau personal. 

Biarkan saja priyayi bicara dengan siswa mau pakai celana merah, jas kuning,  topi biru, kaos kaki blonteng-blonteng. Tak usah ambil pusing. Suka-suka mereka.

"Aku Cuma kasihan saja, Akang Maneh yang  seorang guru SMK dipecat hanya karena salah memilih kata," suara hatiku membela Akang Maneh.

Memang berat juga jika kita harus berpegang pada idealisme. Akang Maneh ingin sekolahnya tak dimasuki aroma politik, tapi ia lupa kalau kita tengah memasuki tahun politik. Sehingga setiap jengkal negeri ini, baik di pasar, rusunawa, pondok pesantren, kampung nelayan, alun-alun, sudah mulai tercium manisnya aroma politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun