Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kreativitas dalam Persahabatan

23 Februari 2023   19:47 Diperbarui: 23 Februari 2023   19:55 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana Anda memaknai persahabatan sejati? Apakah cukup dengan menjaga peseduluran seumur hidup, atau justeru saling tegur sapa dalam perjalanan waktu, memberi letupan-letupan kreativitas?

Sejak tahun 1982 sampai hari ini, saya  berkawan karib  dengan Mas Noer Indrijatno, adik kelas saat kuliah di Universitas Gadjah Mada. Setidaknya kami sudah menjalin persahabatan secara kreatif selama   tiga puluh tahun lebih. 

Persahabatan kreatif? Iya  kami dekat demi mewujudkan hal-hal luar biasa (bolehkan narsis memuji diri sendiri?), baik bagi kami maupun orang-orang di sekitar, juga bagi masyarakat luas.

Watoni/Foto: dokpri Hermard
Watoni/Foto: dokpri Hermard
Ketika mahasiswa, berdua menggagas berdirinya kelompok musik Watoni (waton muni--asal bunyi).  Mas Noer pintar main alat musik, bisa nyanyi-sungguh suaranya mirip Leo Kristi, mampu menciptakan nada/notasi dan mengarasemen lagu. 

Sedangkan saya berbakat mengorganisasi teman-teman, menyusun jadwal latihan, selalu siap dengan materi puisi untuk dinyanyikan. Nama Watoni pelan-pelan menjadi legenda di Fakultas Sastra UGM.

Setelah masing-masing bekerja, menikah, punya anak, tali silaturahmi  menjadi marwah yang tetap terjaga.

Saat Mas Noer memiliki gagasan menerbitkan majalah pariwisata Jelajah Jogja, lelaki penyuka sepeda onthel (dikenal dengan nama Mbah Kidir) itu pun menggandeng saya. 

Poster Leo Kristi/Foto: dokpri Hermard
Poster Leo Kristi/Foto: dokpri Hermard
Begitu pula saat menghadirkan Leo Kristi tampil di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, kami pun terlibat sebagai koordinator penyelenggara.

Sebagai penyuka sepeda onthel, Mas Noer sempat membawa sepeda Fongers tua (tahun 1930-an) pemberian mertua yang saya taruh di halaman samping rumah. Beberapa kali sepeda itu ditawar tukang rongsok sebagai barang bekas, tapi selalu saya tolak. 

Sepeda itu kehujanan dan kepanasan, hanya saya tutupi perlak plastik. Sampai suatu ketika Mas Noer bertamu ke rumah dan sangat tertarik dengan sosok onthel penuh karat. 

Singkat cerita, onthel berpindah tangan. Beberapa bulan kemudian saya dikirimi foto sepeda mengkilap. Tentu saya terperengah setelah membaca catatan yang menyertai foto itu.

"Mas, terima kasih atas pemberian onthel-nya. Sekarang fongers menjadi salah satu koleksi unggulan. Ini foto proses perbaikannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun