Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sastra Jawa: Dari Nggayuh Utami sampai Persoalan Priyayi

13 Februari 2023   09:01 Diperbarui: 14 Februari 2023   03:30 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Naskah kuno/Foto: Hermard

Pada awal perkembangannya, sastra Jawa merupakan sastra istana sentris,  selalu memuji-muji keberadaan raja dan kerabatnya. 

Dalam sastra Jawa tradisional, misalnya, konvensi tembang menjadi sedemikian mapan (Wiryamartana, 1991) dengan memberi tekanan kepada unsur naratif dan didaktik sehingga konvensi tembang berfungsi sebagai pengukuhan nilai-nilai yang harus dihayati oleh masyarakat Jawa.  

Kenyataan ini memiliki korelasi dengan apa yang disebut Kuntowijoyo  sebagai sastra kraton dengan ciri-ciri  mistisisme, mengedepankan etika satria, dan memiliki cita-cita nggayuh utami, meraih keutamaan. 

Ciri-ciri tersebut oleh Kuntowijoyo dipertentangkan dengan eksistensi sastra priyayi yang tidak lagi didominasi oleh mistisisme, etika satria digantikan oleh etika priyayi, dan nilai-nilai sosial kraton (keinginan nggayuh utami) diganti dengan cita-cita mobilitas  sosial dalam arti mencari tempat dalam masyarakat baru.

Apabila sastra priyayi memuat petuah-petuah, maka petuah itu lebih mempunyai titik tekan bagaimana orang dapat meraih kedudukan sebagai priyayi, sekalipun ia berasal dari golongan wong cilik.Jadi, kesadaran tentang perubahan sosial, adanya mobilitas vertikal, sangat disadari oleh pengarang sastra priyayi.

Perkembangan sastra kraton diawali pada tahun 1726---1749  kemudian  mendapat perhatian memadai pada tahun 1788---1820, dan mencapai puncaknya pada tahun 1853---1881  (Pigeaud dalam Suwondo, 1990). 

Kemajuan sastra kraton sesungguhnya terdorong oleh  faktor: (1) menurunnya peran kraton sebagai pusat kekuatan politik dan ekonomi karena campur tangan pihak Belanda dalam pemerintahan---sehingga  kraton lebih banyak berfungsi sebagai pusat kesenian; dan (2) kuatnya kedudukan raja dalam masyarakat Jawa.

Raja merupakan legitimasi dari segala kekuasaan karena raja adalah gung binathara bau dhendha anyakrawati 'memiliki kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia'.  Oleh karena itu raja adalah wenang wisesa ing nagari 'memegang kekuasaan tertinggi di seluruh negeri' (Suwondo, 1990).

Di bagian lain dijelaskan bahwa karya sastra kraton berkaitan dengan kehidupan di dalam istana, terutama kehidupan raja dengan segenap kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki. 

Naskah kuno/Foto: Hermard
Naskah kuno/Foto: Hermard
Kenyataan tersebut menunjukkan dominasi raja dalam mempengaruhi kehadiran karya sastra. Kuntowijoyo melontarkan gagasan bahwa sastra kraton selalu mengandung ajaran-ajaran  kaum bangsawan feodal yang memberi prioritas pada teologi dan etika. 

Pergeseran dari patron kraton ke sastra priyayi sudah dimulai saat  M.A. Tjandranegara menerbitkan kisah perjalanan Lampah-lampahipun Mas Purwa Lelana (1865), Abdullah Ibnu Sabar bin Arkebah menulis Carios Negari Walandi (1876); ditambah lagi dengan dukungan Institut voor de Javaansche di Surakarta (1832---1834) yang berperan dalam penyediaan bahan bacaan dan pengembangan sastra Jawa.

Tidak dapat diabaikan pula kehadiran surat kabar (dagblad) Bromartani (1855) yang mendapat dana dari Daniel Hartevelt (1824---1896) di bawah badan penerbit Hartevelt & Co. di Surakarta. Bromartani mempunyai andil dalam perkembangan sastra di luar kraton.  

Kuntowijoyo  menandai munculnya sastra priyayi sejak akhir abad ke-19 ketika campur tangan kolonial atas kerajaan Jawa sudah begitu besar---kolonial  turut menentukan pengangkatan patih, mencampuri urusan organisasi keamanan, anggaran belanja kerajaan, dan penghapusan sistem apanase oleh sistem gaji.

Kondisi ini, menurut Kuntowijoyo, mendorong Padmosusastra---yang  semula adalah abdi dalem---memaklumkan  dirinya menjadi orang merdeka. 

Dengan kata lain, ketika Ngabehi Kartopradata berubah menjadi Ki Padmosusastra dengan pernyataan sebagai tiyang merdika ingkang marsudi kasusastraan Jawi 'orang merdeka yang memberi perhatian terhadap sastra Jawa'; (disadari atau tidak) merupakan babak baru dalam sejarah kesusastraan Jawa---yaitu hadirnya sastra priyayi. 

Barometer babakan baru tersebut adalah terlepasnya pengarang dari patron kraton, dalam arti pengarang memiliki kebebasan secara individual. 

Dalam karya sastra priyayi, keinginan  nggayuh utami tergantikan oleh cita-cita mobilitas sosial dalam arti mencari tempat dalam masyarakat baru. Contoh  representatif  kasus ini ditunjukkan oleh Kuntowijoyo dengan hadirnya  penerbitan terjemahan  Serat Pamoring Jaler Estri yang diperuntukkan bagi warga perkumpulan  kaum priyayi Abipraya. 

Disebutkan dalam buku tersebut  bahwa upaya terjemahan buku-buku Belanda penting untuk kemajuan  Jawa. Buku yang dikerjakan pada tanggal 15 Juni 1905 itu memuat lukisan etnografis mengenai hubungan laki-laki  dan perempuan pada banyak suku. 

Roman picisan sastra Jawa/Foto: Hermard
Roman picisan sastra Jawa/Foto: Hermard
Selain untuk menambah ilmu pengetahuan tentang etnografi, buku tersebut juga dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kesopanan (a sense of decency) dalam hubungan suami-istri---orang  Jawa ternyata mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik dibanding banyak suku-suku lain.

Tema yang hampir sama ditulis oleh Suwarsa dalam Bab Alaki Rabi: Wayuh Kaliyan  Mboten (1912),  menyarankan  agar para priyayi melakukan monogami. Kritik tersebut ditujukan Suwarsa kepada kebiasaan kaum bangsawan yang selalu mempunyai selir.

Rujukan: Widyasastra, 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun