Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sastra Jawa: Dari Nggayuh Utami sampai Persoalan Priyayi

13 Februari 2023   09:01 Diperbarui: 14 Februari 2023   03:30 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Naskah kuno/Foto: Hermard

Kondisi ini, menurut Kuntowijoyo, mendorong Padmosusastra---yang  semula adalah abdi dalem---memaklumkan  dirinya menjadi orang merdeka. 

Dengan kata lain, ketika Ngabehi Kartopradata berubah menjadi Ki Padmosusastra dengan pernyataan sebagai tiyang merdika ingkang marsudi kasusastraan Jawi 'orang merdeka yang memberi perhatian terhadap sastra Jawa'; (disadari atau tidak) merupakan babak baru dalam sejarah kesusastraan Jawa---yaitu hadirnya sastra priyayi. 

Barometer babakan baru tersebut adalah terlepasnya pengarang dari patron kraton, dalam arti pengarang memiliki kebebasan secara individual. 

Dalam karya sastra priyayi, keinginan  nggayuh utami tergantikan oleh cita-cita mobilitas sosial dalam arti mencari tempat dalam masyarakat baru. Contoh  representatif  kasus ini ditunjukkan oleh Kuntowijoyo dengan hadirnya  penerbitan terjemahan  Serat Pamoring Jaler Estri yang diperuntukkan bagi warga perkumpulan  kaum priyayi Abipraya. 

Disebutkan dalam buku tersebut  bahwa upaya terjemahan buku-buku Belanda penting untuk kemajuan  Jawa. Buku yang dikerjakan pada tanggal 15 Juni 1905 itu memuat lukisan etnografis mengenai hubungan laki-laki  dan perempuan pada banyak suku. 

Roman picisan sastra Jawa/Foto: Hermard
Roman picisan sastra Jawa/Foto: Hermard
Selain untuk menambah ilmu pengetahuan tentang etnografi, buku tersebut juga dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kesopanan (a sense of decency) dalam hubungan suami-istri---orang  Jawa ternyata mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik dibanding banyak suku-suku lain.

Tema yang hampir sama ditulis oleh Suwarsa dalam Bab Alaki Rabi: Wayuh Kaliyan  Mboten (1912),  menyarankan  agar para priyayi melakukan monogami. Kritik tersebut ditujukan Suwarsa kepada kebiasaan kaum bangsawan yang selalu mempunyai selir.

Rujukan: Widyasastra, 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun