Kehadiran media massa (majalah/surat kabar) tidak bisa dilepaskan dari persoalan sosial budaya dan politik. Â
Dekade 1950-an merupakan masa dimulainya perubahan sosial  politik di Indonesia, ditandai terbebasnya masyarakat, bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah; meningkatnya jumlah melek huruf; dan mulai tersosialisasikannya demokratisasi.
Sejak tahun 1950-an  seniman dan budayawan dari luar kota  hijrah ke Yogyakarta, seperti Nasjah Djamin,  Lian Sahar, Motinggo Boesje,  WS Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, dan Ashadi Siregar. Sebagian dari mereka hanya sekedar "singgah", meskipun ada pula yang menetap karena belajar dan bekerja di Yogyakarta, misalnya Nasjah Djamin, Mangunwijaya, Umar Kayam, Rachmat Djoko Pradopo, Kuntowijoyo, Bakdi Sumanto, serta Ashadi Siregar.Â
Kedatangan mereka bukan hanya didukung oleh mobilitas sosial-ekonomi, tetapi keinginan mengembangkan kreativitas dan pendidikan, di samping pengembangan profesi.
Di bidang aktivitas bersastra, Teeuw  mengatakan bahwa tahun 1950-an muncul generasi  baru sastra Indonesia. Kebaruan itu terlihat dari penyebaran pusat-pusat kegiatan para pengarang ke berbagai wilayah. Kota Yogyakarta--karena berbagai faktor spesifik yang dimiliki--mampu menggoda para seniman dari berbagai kota di Indonesia  berproses kreatif di Yogyakarta.
Pada dekade 1950-an berbagai kegiatan di ibu kota dan kota besar lumpuh  akibat perang serta pergantian pemerintahan. Stabilitas politik carut-marut karena pertentangan ideologi akibat mencuatnya kepentingan partai-partai politik.
Pada awal tahun 1950-an di Yogyakarta mulai bermunculan surat kabar/majalah, misalnya majalah Budaya, Seriosa, Basis, Suara Muhammadijah, Pusara, dan  Gadjah Mada; meskipun tidak semuanya memuat karya sastra. Sejak awal kemerdekaan, Yogyakarta berupaya mengembangkan diri sebagai salah satu kota budaya terkemuka di Indonesia. Terutama karena memiliki tradisi budaya kerajaan yang  kuat. Di samping beberapa tokoh masyarakat memiliki landasan spiritual dalam pemeliharaan kebudayaan lokal.Â
Tokoh-tokoh budayawan dan seniman terpanggil menjadi pelopor di berbagai media massa. Mereka adalah Umar Kayam, Kirdjomuljo, Nasjah Djamin, Jussac MR, Umbu Landu Paranggi, Darmano Jatman, WS Rendra, Ashadi Siregar, Bakdi Sumanto, Darmadji Sosropuro, Jasso Winarso, dan Mohammad Diponegoro. Sebagian besar dari nama-nama tersebut terlibat di berbagai media massa yang terbit di Yogyakarta dan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta.
Tempat penting seperti trotoar Malioboro (tepatnya di depan kantor Pelopor Yogya), Jalan Mangkubumi (depan kantor Kedaulatan Rakyat), Bulaksumur Boulevaard, kampus IAIN, kampus IKIP Negeri Karang Malang (sekarang UNY), dan kantor Basis di Kotabaru menjadi kantung-kantung  kegiatan bersastra hingga tahun 1970-an.
Kehadiran berbagai majalah dan surat kabar  memberi sumbangan  cukup besar bagi perkembangan sastra di Yogyakarta. Â
Â
Pengarang merupakan komponen  penting dalam penciptaan karya sastra. Tanpa kehadiran pengarang (sastrawan), tidak mungkin  lahir karya sastra. Sapardi Djoko Damono (1999) melontarkan gagasan bahwa pendekatan  sastra dapat memusatkan perhatian pada pengarang.  Beberapa jenis pendekatan  (historis, sosiologis, maupun psikologis) menekankan  pentingnya pengarang. Pengarang sebagai individu dan kelompok  dapat dipelajari asal-usul, pendidikan, ideologi, dan agamanya. Â
Dari sejumlah penerbitan yang memuat karya sastra berbentuk cerita pendek, dapat diindentifikasi keadaan pengarang cerpen di Yogyakarta. Pertama,  pengarang yang kurang atau tidak produktif dan karya-karya mereka hanya dimuat dalam media massa  di Yogyakarta. Kedua, pengarang produktif, jumlah karya mereka lebih dari satu, dan  karya mereka tidak hanya dimuat  media massa yang terbit di Yogyakarta.Â
Pengarang kelompok pertama, antara lain A.K. Hadi, Agus Sujudi, Yuddha, Subekti, Klana Djarwa,  Djon,  Marusman,  Sri Hutomo Kusumo, dan M. Sunjoto. Barisan pengarang  kelompok kedua, antara lain Mutijar, Srimaya, Sudjoko Pr., S. Rasdan, Pong Waluya, Herman Pratikto, W.S. Rendra,  Iman Soetrisno, Alwan Tafsiri, Rustandi Kartakusuma, Djamil Suherman, A. Bastari Asnin, Nasjah Djamin, SN Ratmana, Hardjana HP, St. Iesmaniasita, Sju'bah Asa, Hadjid Hamzah, Susilomurti, Jussac MR, dan Th. Sri Rahayu Prihatmi.Â
Pengarang tersebut di samping memiliki beberapa cerpen, karya mereka pun dimuat di dalam media massa  terbit di luar Yogya. Cerpen  "Nyidam" (Hardjana HP) dimuat dalam majalah Tanah Air, (Jakarta), "Di Kereta Ia Saya Temui" (Kirdjomulyo) dimuat  Tanah Air, (Jakarta, 1961), "Pengantar Surat" (Motinggo Boesje) dimuat  majalah Sastra (Jakarta, 1961), "Nenenda" (A. Bastari Asnin) dimuat  majalah Sastra (Jakarta, 1961),  "Wasja, Ah, Wasja" (WS Rendra) dimuat  majalah Kisah, (Jakarta, 1961), dan "Aku Protes" (B. Soelarto) dimuat majalah Cerpen,  (Jakarta, 1966).
Beberapa penulis cerpen di atas  memiliki kegiatan penunjang yang mendukung kegiatan bersastra. Mereka tidak hanya sekadar bisa menulis cerpen, akan tetapi  mampu menulis esai sastra dan  menerjemahkan. S. Rasdan menerjemahkan cerpen "The Last Leaf" karya O Henry menjadi "Kisah Selembar Daun"  dimuat  majalah Seriosa (1954). Pengarang lain, Supomo, S.H.  menulis cerpen "Jaminan" (Gadjah Mada, 1954), merupakan  terjemahan cerpen karya W.B. Maxwell.  Sementara itu penulis Djon di samping menulis cerpen mampu menulis naskah drama radio "Di Simpang Jalan" (Medan Sastra, No. 4, Juli 1953).
Dari segi kualitas, beberapa  cerpenis Yogyakarta menunjukkan kelebihan sebagai sosok pengarang yang layak diperhitungkan. Beberapa dari mereka mendapatkan hadiah sastra dari majalah Sastra (Jakarta) pimpinan H.B. Jassin.  Majalah Sastra merupakan majalah bulanan, memberikan andil bagi perkembangan cerita pendek Indonesia.
Pada tahun 1961 redaksi majalah Sastra memberikan "Hadiah Sastra 1961" kepada enam orang cerpenis Indonesia, antara lain: A. Bastari Asnin, B. Soelarto. Di samping dua pengarang di atas, Satyagraha Hoerip memperoleh hadiah hiburan.
Hal lain yang menarik dari sisi kepengarangan adalah adanya kebiasaan beberapa  pengarang yang menulis cerpen ditujukan kepada orang-orang tertentu  dengan maksud tertentu. Perhatikan cerpen "Doktoranda Fatimah" [Buat Yu Sri di Surabaya] karya Hardjana HP (Minggu Pagi, 1963),  "Pawai Awan" [Souvenir untuk Kartini] karya  Marusman (Media,  1955), karya Satyagraha Hoerip (Minggu Pagi, 1955), "Pada Satu Sore" [buat dik Artiningsih, karena siapa cerita ini lahir].
Pencantuman keterangan kepada siapa cerpen itu ditujukan tentu saja mempunyai tujuan tertentu,
agar pembaca yang dituju memberi perhatian khusus terhadap cerpen tersebut, menciptakan suasana agar cerpen tersebut terasa dramatis, dan upaya mengungkapkan perasaan tertentu penulisnya.
*Herry Mardianto
Rujukan: Widyaparwa