Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Menjaga Garis Tepi Sastra

25 Desember 2022   09:22 Diperbarui: 25 Desember 2022   17:15 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pementasan "Suara Pembayun" di Teater Arena Surakarta  (foto: dok.pribadi/Hermard)

Dua tahun awal pelaksanaan Bengkel Satra, kami selalu mengadakan aksi jemput bola ke sekolah-sekolah demi memenuhi target jumlah peserta. Baru pada tahun keriga,  sekolah-sekolah  bersedia memenuhi kuota. Bahkan mereka meminta jatah lebih agar siswa mereka dapat menjadi peserta.   Kalau belakangan ini  dikenal istilah literasi, dalam pengertian sederhana  meningkatkan kemampuan menulis dan membaca, sebenarnya hal itu sudah kami lakukan sejak tahun 1995. 

Untuk menyalurkan potensi siswa setelah mengikuti Bengkel Sastra, didirikanlah komunitas Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta (SSIY).  Di sini alumni Bengkel Sastra berlatih intens pembacaan, dramatisasi puisi,  penciptaan puisi dan cerita pendek. Dari kegiatan ini lahirlah pembaca puisi berkualitas dan selalu memenangi berbagai perlombaan.

Bahkan dalam suatu kesempatan lomba baca puisi tingkat SLTA, sepuluh nominasinya merupakan anggota SSIY.   Dewi Rachmawati, Fransiska Firlana, Dian Radwiyanto, Diah Puspita, Desi Fitria Rustanti, Anindia Puspita (untuk menyebut beberapa nama), pernah merajai lomba pembacaan puisi di Yogyakarta. Kami pentas membawakan dramatisasi puisi "Nyanyian Angsa" (WS Rendra), "Jante Arkidam" (Ajip Rosidi), "Pada Suatu Malam" (Sapardi Djoko Damono)  dan beberapa karya penyair lainnya hingga ke NTB, Bali, Malang, dan Bandung.

Pentas di Taman Budaya Mataram dalam Jambore Sastra (foto: dok. pribadi/Hermard)
Pentas di Taman Budaya Mataram dalam Jambore Sastra (foto: dok. pribadi/Hermard)
Sementara itu Retno Darsi Iswandari, Mutia Sukma, Nora Septi Arini dikenal sebagai penyair muda berbakat, menulis puisi di media lokal maupun nasional, puisi-puisi mereka terbit dalam antologi. Keguyuban dalam proses bersastra di SSIY menimbulkan tali ikatan  kuat sehingga sampai hari ini pun kami terus saling bertegur sapa untuk lebih kreatif membangun dunia sastra.

Visualisasi Media Pembelajaran Sastra oleh anggota SSIY di TBY (foto: dok.pribadi/Hermard)
Visualisasi Media Pembelajaran Sastra oleh anggota SSIY di TBY (foto: dok.pribadi/Hermard)
Yogyakarta kota sastra?

Hal ini tak perlu diragukan lagi. Kota Yogyakarta memiliki banyak komunitas sastra (baik satra Indonesia maupun sastra Jawa), berbasis di perguruan tinggi maupun di kantung-kantung sastra di Sleman, Gunungkidul, Bantul, Kulonprogo, dan di kota Yogyakarta.  

Pementasan sastra terjadi setiap saat karena lembaga pemerintah maupum swasta memiliki agenda rutin dan temporer. Berbagai macam lomba sastra dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan, Balai Bahasa, Balai Layanan Perpustakaan DPAD, perguruan tinggi, sekolah, dan berbagai komunitas di daerah. Artinya, pengayom sastra terus memberikan wadah kreativitas bagi pengembangan dan perkembangan sastra di Yogyakarta. 

Jangan dilupakan juga jika Yogyakarta merupakan kawah candradimuka yang melahirkan sastrawan-sastrawan moncer  seperti Joko Pinurbo, Eko Triyono, Asep Saiful Anwar, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Butet Kertaradjasa, Agus Noor, Emha Ainun Nadjib, dan WS Rendra. Di sisi lain Yogyakarta sering dijadikan kiblat bagi konsep pertunjukan sastra.

Kekurangan Yogyakarta sebagai kota budaya dan sastra karena tidak memiliki pusat dokumentasi sastra. Saat menyusun buku mengenai proses kreatif sastrawan Yogyakarta: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku dan Njajah Desa Milangkori  diperlukan beberapa dokumen berkaitan dengan karya sastra monumental. Kenyataannya banyak sastrawan Yogyakarta  tidak memiliki dokumentasi karya-karya mereka sendiri. 

Bahkan saat memerlukan naskah sandiwara radio, oleh penulis naskah, Mas Bondan Nusantara, diminta menghubungi radio swasta yang pernah menyiarkan. Anehnya, radio swasta sudah tidak memiliki naskah siaran karena rekaman siaran  ditimpa dengan siaran lainnya.

Pada tahun 1990-an saya  mempublikasikan tulisan  (dimuat di Kompas) mengenai pentingnya didirikan pusat dokumentasi sastra Yogyakarta mengingat Yogya merupakan kota sastra dan budaya. Meskipun begitu, sampai saat ini gagasan tersebut tetap menjadi angin lalu.

Kehidupan sastra di Yogyakarta sampai hari ini baik-baik saja, masih ada gaung kegiatan sastra. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan kegiatan sastra pada tahun 1980-an dan 1990-an sangat berbeda, terlebih saat di titik nol masih berdiri gedung kesenian Senisono. 

Pada tahun 1980-an kehidupan sastra di Yogya begitu gayeng dengan banyaknya grup teater, komunitas sastra, kelompok diskusi, pementasan sastra, dan dukungan media lokal, terutama Kedaulatan Rakyat dan Minggu Pagi yang memberi ruang luas  bagi masalah kebudayaan dan kesastraan. Belakangan ini meskipun ada kegiatan sastra, tetapi belum mampu menandingi kemeriahan kegiatan sastra Yogyakarta masa lalu.  Bahkan ruang sastra dan budaya kian tersingkir  dari media massa. Kegiatan sastra lebih terkesan sebagai sebuah seremonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun