Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Menjaga Garis Tepi Sastra

25 Desember 2022   09:22 Diperbarui: 25 Desember 2022   17:15 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pentas di Taman Budaya Mataram dalam Jambore Sastra (foto: dok. pribadi/Hermard)

Di lapangan sepak bola ada dua penjaga garis, mengawasi bola  out, pemain off side, bahkan melanggar peraturan.
Di garis tepi ruang sastra, seseorang duduk, kadang terkantuk tidur bermimpi mengenai hiruk-pikuk dunia sastra.

Bukan rahasia lagi jika acapkali sastra dilecehkan orang, dianggap sosok kelas kambing. Ia kalah pamor jika disandingkan dengan generlap dunia musik dan hingar-bingar olah raga. Pihak tertentu lebih memilih menyeponsori pertunjukan musik atau perhelatan olah raga ketimbang kegiatan sastra. 

Benar apa yang dikatakan Emha Ainun Nadjib bahwa sastra  siap ditendang-tendang bagai bola. Orang selalu skeptis dan pesimis  terhadap dunia sastra. Ada yang beranggapan bahwa sastra adalah dunia "orang gila" dan tidak menjanjikan apa-apa. 

Tapi coba kita  renungkan sejenak seandainya dunia ini hanya dijejali  persoalan politik dan ekonomi, apa yang terjadi? Mungkin hanya dipenuhi huru-hara, demonstrasi, kepanikan. Orang tidak lagi punya waktu jeda  menghibur  diri sendiri, merenungi hakikat kehidupan, memperbaiki akal budi agar bisa memiliki alternatif dalam menyiasati hidup dan kehidupan.

Begitulah, banyak barisan sastrawan yang percaya: ketika politik mati, maka sastra yang berbicara. Sastra memberikan alternatif bagi pemecahan persoalan kehidupan. Tak heran jika Romo Mangunwijaya, Taufik Ismail, Putu Wijaya, F. Rahardi, bahkan Iman Budhi Santosa yang memiliki latar pendidikan bukan sastra, rela menceburkan diri ke dunia sastra. Mereka berani nggetih dan merasa berumah di jalan sastra.                                

Ketika duduk di bangku SMA, saya mengambil jurusan  ilmu pasti (IPA). Saat raportan, ternyata  guru bahasa Indonesia memberi nilai kurang memadai, padahal saya merasa bisa mengerjakan  soal-soal ulangan. Kejadian tersebut memunculkan niat untuk membuktikan bahwa persoalan kebahasaan dan kesastraan sudah mendarah daging sejak   duduk di sekolah dasar. Nilai pelajaran mengarang dan deklamasi selalu di atas rata-rata.

Masuk ke Fakultas Sastra UGM merupakan pembuktian  terjadinya kesalahan guru bahasa Indonesia dalam memberikan nilai. Keinginan menjadi penulis, sebagai bukti bisa berbahasa Indonesia dengan baik, ternyata tidak semudah membalikan telapak tangan. Tidak hanya sekadar menguasai  unsur kebahasaan, lebih dari itu harus memiliki daya kreatif dan daya imajinatif.  

Menyadari hal itu, tak ada pilihan lain kecuali terlibat dalam penerbitan buletin mahasiswa, Humanitas,  majalah dinding Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia, penerbitan antologi puisi, dan penyelenggaraan berbagai kegiatan sastra lainnya. Sekitar tahun 1983, mulai menulis di Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Masa Kini, Suara Karya, dan Suara Pembaharuan.  Kemudian dipercaya menjadi juri pembacaan puisi, cerpen, dan musikalisasi puisi  di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

Menjadi juri dramatisasi cerpen di SMAN 6 (foto: dok. pribadi/Hermard)
Menjadi juri dramatisasi cerpen di SMAN 6 (foto: dok. pribadi/Hermard)
Lulus dari perguruan tinggi, bekerja di salah satu kantor pemerintah, mengurusi penelitian dan pembinaan bahasa dan sastra. Sekitar tahun 1995, bersama Tirto Suwondo (peneliti senior), menggagas  kegiatan Bengkel Sastra demi menjaga keberlangsungan (regenerasi) sastra Yogyakarta. 

Kegiatan  itu melibatkan  siswa SLTA  masuk ke dunia empirik penciptaan (penulisan) dan pemanggungan karya sastra. Tentu materi yang diberikan berbeda dengan pelajaran di sekolah. Selama sepuluh kali pertemuan (setiap hari Minggu, hampir tiga bulan) dua puluh lima siswa dibimbing oleh satrawan atau praktisi sastra Yogyakarta yang berkompeten di bidang penulisan dan pemanggungan. 

Seluruh karya siswa diterbitkan dalam antologi bersama dan dipilih karya untuk dipresentasikan dalam bentuk pementasan di akhir kegiatan. Dalam kegiatan Bengkel Sastra, siswa diperkenalkan dengan tahapan menulis dan pemanggungan, bagaimana mendapatkan ide, mengelola, mengembangkannya, menulis,  self editing, olah vokal, pernapasan, konsentrasi, ekspresi, dan improvisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun