Sejak tahun 1970-an, semasa duduk di bangku Sekolah Dasar di Kuala Tungkal, Jambi, saya sudah mendengarkan sandiwara radio, meskipun sekarang tidak ingat lagi isi cerita sandiwara bersambung yang disiarkan radio dari negara tetangga, Malaysia.Â
Satu hal yang masih terbayang sampai hari ini adalah sandiwara itu selalu dibuka dengan sebuah lagu sendu mengenai inti cerita dalam sandiwara yang akan diperdengarkan.Â
Lagu dengan syair dan irama Melayu tersebut dipakai juga sebagai penutup, berisikan kemalangan yang dialami tokoh cerita serta ajakan (lebih tepatnya bujukan) kepada pendengar untuk mengikuti kelanjutan cerita, mengetahui nasib tokoh dalam episode berikutnya.Â
Sandiwara bersambung diperdengarkan setiap hari sekitar pukul delapan pagi dan diulang kembali pada pukul empat atau lima sore.Â
Media hiburan pada waktu itu hanya film di gedung bioskop sederhana dengan harga karcis tidak murah, televisi hitam putih berisi sajian film bisu, film India, olah raga-tidak setiap hari bisa dinikmati karena listrik dinyalakan secara bergiliran dan pemilik pesawat televisi jumlahnya sangat terbatas.Â
Benda elektronik tersebut termasuk barang mewah. Di lingkungan tempat tinggal saya, hanya keluarga kepala Pabean (Beacukai) yang memiliki pesawat televisi.Â
 Jadi, radio merupakan satu-satunya media hiburan yang dapat dinikmati setiap hari (hampir di setiap rumah memiliki radio) dan sandiwara selalu dinantikan kehadirannya untuk mengobati rasa penasaran, di samping memenuhi "bujukan" yang didendangkan lewat lagu penutup di setiap penghujung siaran sandiwara radio.
Dalam rentang waktu berikutnya, masyarakat keranjingan terhadap siaran sandiwara radio "Saur Sepuh" karya Niki Kosasih, menceritakan petualangan para pendekar sakti tanah Jawa dan Nusantara, disiarkan radio swasta di berbagai pelosok negeri.Â
Kisah Brahma Kumbara (raja Madangkara) dengan puluhan bahkan ratusan episode begitu menginspirasi; memunculkan kisah-kisah petualangan serupa dengan segmen dunia persilatan Nusantara.Â
Sandiwara berlatar kerajaan Majapahit tersebut memukau dan menghipnotis pendengarnya, sehingga "Saur Sepuh" dinobatkan sebagai master of the legend sandiwara radio di Indonesia.Â
Tidak kalah menarik adalah kehadiran sandiwara radio "Tutur Tinular" karya Stanislaus Tijab pada tahun 1989, menceritakan petualangan pendekar Arya Kamandanu dengan latar runtuhnya kerajaan Singhasari dan berdirinya kerajaan Majapahit. Konon makna kata tutur tinular merupakan nasihat yang perlu disebarluaskan.Â