Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Menulis Fiksi: Sebermula dari Kenyataan

26 November 2022   08:22 Diperbarui: 26 November 2022   08:32 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sesungguhnya tidak ada pedoman/teori menulis fiksi yang baku. Setiap orang nemiliki kebebasan dalam menulis kreatif, sehingga proses kreatif  si Polan dengan si Anu berbeda-beda. Kondisi ini bisa dikaitkan dengan latar belakang sosial budaya, pendidikan, pandangan dunia, dan pengalaman masing-masing penulis. Jadi, dalam pelatihan penulisan kreatif (menulis fiksi), hal terpenting bukan berkaitan dengan pengedepanan teori, tapi lebih kepada proses ngompori agar peserta mempunyai keinginan  menulis dan terus menulis. Peserta diberi asupan gairah supaya  memiliki motivasi untuk terus  berlatih menulis, mereka diajak  secara empirik menikmati proses menulis.
Penulisan kreatif atau penulisan fiksi (dalam konteks ini menulis cerita pendek, sandiwara radio, novel, naskah drama), meskipun sifatnya imajinatif dan subjektif; proses penulisannya tidak dapat dilepaskan dari realitas kehidupan (kenyataan). Sebab, pada hakikatnya cerita merupakan hasil penafsiran atas nilai-nilai kehidupan yang dihadirkan/diciptakan melalui pergulatan tematik, simbolik, dan bahasa. Artinya, meskipun cerita bersifat fiktif, ia harus berangkat dari kenyataan. Menurut para ahli sastra, tidak ada cerita yang lahir dari ruang kosong, sekadar khayalan. Untuk itu dalam nenulis cerita diperlukan riset, baik riset sosial---berkaitan dengan dunia pengalaman berinteraksi dengan masyarakat maupun riset pustaka (membaca berbagai referensi). Tuntutan ini sekaligus bersinggungan dengan pemikiran bahwa karya fiktif pun harus memiliki logika cerita yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam menulis puisi, meskipun  berangkat dari kebebasan penyair (licentia poetica), ia harus dapat dipertanggungjawakan oleh penyairnya.
Herlinatiens dalam buku Njajah Desa Milang Kori  (2017), menyatakan bahwa dalam menulis cerita ia biasanya mencari dan membaca berulang-ulang buku  berkaitan dengan apa yang hendak ditulis. Hasil riset  orang lain pun bila memungkinkan pasti dibaca. Saat menulis  Koella, wanita penyuka kopi tanpa gula ini, banyak menghabiskan waktu di Madiun-Ngawi mencari tahu cerita di balik menghilangnya cita-cita  menjadi penari dan penyanyi anak-anak di sana. Bahkan ia berulangkali  membaca dan membuka-buka buku tentang Bung Karno.
Secara sederhana, pengorganisasian penulisan cerita (cerita pendek, misalnya) terdiri atas bagian awal berupa pembukaan, bagian tengah  konflik, dan bagian akhir  penyelesaian. Dalam bagian awal diperkenalkan tokoh cerita, latar, dan persoalan yang akan dihadapi tokoh. Bagian ini harus disajikan semenarik mungkin sehingga pembaca terhipnotis untuk terus membaca. Bagian tengah berisi rententan konflik hingga mencapai klimaks. Bagian akhir merupakan peredaman atau penyelesaian konflik. Jika disederhanakan, bagian awal memuat perkenalan dan munculnya konflik; bagian tengah berisi perkembangan konflik, suspens, konflik menuju klimaks; serta bagian akhir memuat pemecahan masalah/konflik dan acapkali dihadirkan surprise.
Hakikat dari sebuah cerita adalah konflik, artinya tanpa konflik tidak akan pernah ada cerita yang memiliki daya pukau bagi pembaca. Dalam proses penulisan cerita, kehadiran konflik sudah dibayangkan saat penulis menentukan tema dasar (gagasan awal). Tema dasar tersebut kemudian dilekatkan kepada tokoh cerita. Pengemban tema dasar adalah tokoh utama (protagonis) yang memiliki relasi oposisional dengan tokoh antagonis dan tokoh lainnya sehingga memunculkan pertentangan antartokoh. Ketajaman konflik mempunyai relevansi dengan persoalan yang dihadirkan dalam cerita.
Menulis cerita tidak bisa dilepaskan dari ketajaman ingatan pengalaman individual maupun pengalaman sosial (kemasyarakatan). Hal termudah dalam menulis cerita berkaitan dengan  pengalaman pribadi, apa yang kita pikirkan dan rasakan. Tentu dalam perjalanan hidup yang begitu panjang, kita masing-masing  mempunyai ketajaman ingatan terhadap pengalaman menarik dan berkesan untuk diceritakan. Dalam menulis, seseorang dituntut mengembangkan daya imajinatif secara maksimal agar tulisan yang dihasilkan tidak terkesan ngayawara. Seorang penulis harus mampu membayangkan, melukiskan, mengangankan sebuah kejadian, peristiwa, atau suatu hal dari awal hingga akhir.  Jangan menulis sesuatu yang tidak diketahui/dikenali  dengan baik agar tulisan (cerita) tidak terkesan artifisial.


Jadi, meskipun karya fiksi bersifat imajinatif, ia tetap berangkat dari kenyataan hidup yang disesaki berbagai persoalan nggegirisi....

Herry Mardianto

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun