Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dendam terhadap Guru Bahasa Indonesia

25 November 2022   11:24 Diperbarui: 25 November 2022   11:36 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dendam terhadap Guru Bahasa Indonesia
Herry Mardianto


Jangan berpikiran negatif terlebih dahulu berkenaan dengan makna kata 'dendam'  dalam tulisan ini.

Cerita  berawal ketika saya  duduk di bangku SMA kelas dua jurusan ilmu pasti alam. Jurusan IPA saya pilih sebagai pembuka jalan keinginan kuliah di Fakultas Biologi UGM, meskipun kandas gara-gara guru bahasa Indonesia yang tega memberi nilai kurang memadai di dalam rapot.  Padahal sejak duduk di bangku SD, pelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang saya sukai, terlebih jika ada tugas mengarang (liburan ke rumah nenek, pergi ke kebun binatang, atau mandi di sungai), nilai mengarang saya kerap kali di atas rata-rata, bahkan mungkin terbaik. 

Di bangku SMP hobi mengarang saya lampiaskan dengan mengurusi majalah dinding sekolah. Tak usahlah bertanya mengenai nilai bahasa Indonesia yang saya dapatkan karena begitu membanggakan. Lha kok bisa-bisanya nilai bahasa Indonesia di bangku SMA menjadi receh? Padahal sebelum mata pelajaran itu dipegang Pak Rusdi, nilai bahasa Indonesia saya bermain di angka tujuh atau delapan. Apakah pemberian nilai itu tidak salah? Terlebih di setiap lomba antarkelas, pasti kelas saya meraih banyak pernghargaan. Apakah Pak Rusdi tidak mau memberi penghargaan atas  kepedulian saya terhadap pelajaran bahasa Indonesia dengan setia mengurus majalah dinding sekolah berisi rubrik opini, puisi, cerita pendek, berita sekolah?

Sejak mendapati kenyataan itu, saya menaruh dendam kepada Pak Rusdi. Saya akan membuktikan bahwa nilai yang beliau berikan sungguh terlalu lebay untuk dikenang. Efek dari nilai bahasa Indonesia yang receh itu menyebabkan saya banting setir, tidak lagi berpikir mendaftar kuliah di Fakultas Biologi UGM, tetapi ingin masuk ke fakultas yang mengajari mahasiswanya mampu menulis dan menjadi penulis. Dalam hati hanya ada dua pilihan: kuliah di Fakultas Sastra atau di Fakultas Ilmu Politik yang saat itu memiliki Jurusan Publisitik dalam rangka mencetak para jurnalis. Sungguh saya akan melakukan pengkhianatan dari siswa IPA menjadi mahasiswa jurusan sosial.

Takdir akhirnya menyeret saya masuk ke Fakultas Sastra UGM. Keinginan menjadi penulis, mengurusi majalah dinding, dan buletin jurusan, serasa berada di bawah bayang-bayang Pak Rusdi.  Dua tahun setelah kuliah, saya mengawali karir sebagai penulis. Media lokal berubah menjadi ajang pertempuran agar nama terus berkibar melalui berbagai opini di media massa cetak. Soal dendam kepada guru bahasa Indonesia? Terus menderu di sepanjang jalan. Tetapi apakah dendam itu berada di jalan yang benar? 

Pertanyaan terakhir ini membuat saya miris sendiri karena SMA tempat saya menuntut ilmu di Yogyakarta merupakan sekolah dengan kedisiplinan tingkat dewa. Setiap hari Senin semua siswa wajib mengikuti upacara bendera, kuku dan rambut tidak boleh panjang. Celakanya, saya merupakan salah seorang siswa yang "nyeniman", membiarkan rambut memanjang semaunya. Nah, situasi ini menyebabkan saya kerap berurusan dengan Pak Rusdi karena beliau merangkap sebagai guru BK. Sebulan atau dua bulan sekali kami berdua berada di ruang BK. Pak Rusdi berdiri sambil memegang gunting dan sisir, saya duduk sebagai pesakitan!

Saya menyadari mungkin saja nilai bahasa Indonesia yang kemudian menimbulkan dendam berkepanjangan dan menjerumuskan saya menjadi penulis, bersangkut paut dengan relasi oposisional kami berdua dan  "kemesraan" bisu di ruang BK.


Selamat Hari Guru dan alfatihah untuk Pak Rusdi, damai di keabadian....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun