Mohon tunggu...
Herry Fahrur Rizal
Herry Fahrur Rizal Mohon Tunggu... wiraswasta -

"Follow your passion; Reach your vision; Take action!" Ulon hana teupheu sapheu... : ) Therimoung ghaseh... @HerryFahrur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekecap Asa dalam Rasa

28 Maret 2012   15:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:21 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13329476911304995933

Jadilah kau seumpama garam, ‘Nak… yang hampir berada di setiap genap masakan. Apapun menunya itu….

Sadi menaburkan garam di atas minyak goreng yang baru saja memanas itu. Beberapa saat kemudian, dia memecahkan dua butir telur ayam. Sebelum begitu nampak kelihatan coklat setengah matang, segera dia memasukkan nasi putih sisa makan malam yang belum habis di magic jar. Kecap dituangkan sekedarnya lebih untuk pewarna. Serapan bumbu-bumbu racikan asal tembaknya cukup sebagai rasa. Asap mengepul dari sela bulir-bulir nasi di wajan. Cekatan irisan basho dan sosis ayam dicampurkan. Sadi membolak-balik kembali masakannya itu.

“Panda…,” si sulung Tristan menyeret guling mungil masih lengkap dengan piyamanya. “Kakak lapel…,” cadelnya meluncur.

Sadi terpaling perhatiannya. Setelah mencicipi sejenak olahan sarapan paginya itu, dia mematikan kompor gas tersebut. Menyongsong sang anak. Mencangkung. Menyesuaikan dengan tinggi badannya. “Eh, jagoan Panda udah bangun…,” senyum kebapakan mengembang hangat. Tangan besarnya sigap menggendong.

“Panda matsak natsi goleng lagi, ya…?” mata lugunya menatap Sadi.

Kikuk menerpa paras Sadi. Tristan yang masih balita nampaknya mulai dilanda kejenuhan dengan sarapan pagi mereka. “Ng… besok Panda beli roti, deh…,” mengelak jengah.

Dengan satu tangan, Sadi menuangkan nasi goreng itu di dua piring berbeda. Porsi Tristan disesuaikan. Masih dengan tangan terlatih, Sadi memecahkan sebutir telur. Lagi, taburan garam secukupnya berjatuhan di atas sana. Menu telur mata sapi tersaji. Satu butir lagi untuk dirinya. Dia berpindah ke sisi lain dapur. Beberapa iris timun dan tomat telah disiapkan sejak awal sebelum memasak.

“Panda…,” Sadi menoleh, “kapan Bunda pulang dali lumah tsakit…?” geletar rindu menggelegak dari suara Tristan. Sadi terenyuh.

“Ng… nanti… kalo Dhek Tristi-nya udah kuat, ya…,” anak keduanya belum sepekan ini lahir ke bumi. “Khan Kakak Tristan katanya mau main game Spiderman sama Dhek Tristi. Jadi, nunggu Dhek Tristi kuat dulu… biar bisa diajak main…,” Sadi menyahut sekenanya.

Sekelebat terngiang lagi pesan mendiang Ayah.

Jadilah kau seumpama garam, ‘Nak… yang hampir berada di setiap genap masakan. Apapun menunya itu….

Sebagai single parent, beliau terbiasa memegang seluruh urusan rumah tangga. Tanpa diminta, tak segan mendiang turun langsung membantu Ibu yang terlebih dahulu menghadap Tuhan. Apalagi sedari remaja, gelar anak piatu memang sudah tersemat pada diri Sadi.

Itulah kebermanfaatan diri. Dimanapun kau berada, menjadi pribadi yang berguna….

Sesal memang kadung melantai. Semenjak remaja pula, dia lebih disibukkan dari satu tongkrongan ke tongkrongan lainnya, tanpa membantu Ayah. Sahabat karibnya kala itu hanya satu: bersenang-senang. Apalagi beliau pantang membayar pembantu untuk rumah mungil mereka. Padahal seolah pesannya satu, berharap Sadi remaja bisa meraba asanya. Kini, Sadi baru merasakan betapa pentingnya peran seorang istri sebagai ibu rumah tangga. Kelahiran anak kedua mereka seakan sindiran halus kehidupan untuk terus mengasah diri.

Kendati garam, kadangpun tidak harus berada di setiap masakan. Lantaran hidup, jika kau tidak bisa memaniskan; tak usahlah kau mengasinkan….

SEKIAN

Sumber Gambar: //familyrelationships.org.uk

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun