Mohon tunggu...
Herry Dim
Herry Dim Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja seni, penulis seni/kebudayaan, dan lingkungan hidup

Pekerja seni, lukis, drama, tata panggung teater, menciptakan wayang motekar. Pernah menulis di berbagai media serta berupa buku, aktif juga dalam gerakan-gerakan lingkungan hidup dan pertanian. Kini menjadi bagian dari organisasi Odesa Indonesia, dan sedang belajar lagi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumahku Kantorku: Net Zero Emissions

23 Oktober 2021   08:05 Diperbarui: 23 Oktober 2021   08:14 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Memetik Hikmah dari Pandemi Covid19)

PANDEMI Covid19, tentu saja, menyedihkan, menyakitkan, dan menyengsarakan hampir semua manusia di muka bumi ini. Ihwal riwayat kepedihannya telah kita jumpai setiap hari, terutama manakala pandemi tersebut menunjukan grafik naik atau memuncak di suatu kawasan, itu terdengar sejak periwayatan dari mulut ke mulut, media konvensional, televisi, radio, media online, dan beredar pula di sejumlah media sosial. Maka untuk itu takakan dan kiranya takperlu diulang-ceritakan.

Yang menarik justru hal di sebaliknya dan barangkali pula merupakan hikmahnya. Manakala sejumlah kota di dunia melaksanakan lockdown atau di negara kita menggunakan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan kemudian pada gelombang pandemi kedua berganti istilah menjadi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), udara di sejumlah kota menjadi lebih segar dan langit tampak bersih. Foto-foto hasil jepretan masyarakat pun bertebar di akun-akun pribadi media-sosialnya masing-masing. Reaksi spontan ini, kiranya, muncul dari ketakjuban melihat alam yang takpernah mereka lihat sebelumnya, langit yang sehari-hari biasa terlihat keabu-abuan kini diperlihatkan dalam foto-foto mereka dengan gambaran cerah berwarna biru yang menawan.

Itu, merupakan reaksi intuitif yang semata-mata muncul atas ketakjuban, disamping tentu saja banyak pula yang menyadari secara rasional bahwa udara menjadi lebih bersih tersebut memberikan kemungkinan kehidupan yang lebih sehat. Searah dengan intusi dan kesadaran awam tersebut, ternyata senada dengan bukti-bukti ilmiahnya. Laporan dari KOMPAS.com (13/12/2020), misalnya, menunjukkan hasil dari sebuah penelitian waktu itu yang menyebut terjadinya penurunan emisi karbondioksida (CO2) tahunan terbesar sejak Perang Dunia Kedua.[1] Sumber yang sama dengan mengutip pendapat Profesor Corinne Le Qur, dari Universitas East Anglia, Inggris, dalam pengamatannya terhadap Perancis dan Inggris, dilaporkan bahwa alasan utama penurunan emisi karbondioksida adalah karena kedua negara tersebut menjalani dua gelombang lockdown yang sangat ketat dibanding dengan negara-negara lain. Yang patut kita catat di sini bahwa sumbangan penurunan emisi terbesar itu dari sektor transportasi. 

Sama sekali taksulit bagi kita untuk memahami hasil studi tersebut, mengingat hal yang sama pun teralami oleh sejumlah kota di tanah air manakala melaksanakan PSBB ataupun PPKM. Foto-foto awam di sejumlah media sosial, pun mempelihatkan bagaimana kosongnya jalanan, takada moda transportasi, bersih dari kendaraan-kendaraan pribadi yang biasanya memadati bahkan menyebabkan kemacetan di kota-kota kita.

 

Rumahku Kantorku

 

Meskipun telah kita ketahui akan jawabannya, ada baiknya kita bertanya: Ke manakah kiranya kendaraan-kendaraan yang biasanya memadati jalanan di perkotaan itu? Jawaban singkatnya, mereka itu WFH atau Work from Home yang artinya melakukan pekerjaan dari rumah.

Seperti halnya segala sesuatu yang baru dan apalagi sifatnya tiba-tiba, WFH pada awal-awalnya tentu saja membingungkan, menimbulkan sejumlah keraguan, bahkan di sana-sini menimbulkan pro-kontra dengan dengung perdebatan yang cukup berkepanjangan. Patut pula diakui bahwa pada awalnya dimulai dengan rasa 'keterpaksaan' karena takada pilihan lain demi menjalankan PSBB/PPKM. Tapi lambat laun sejumlah hal berjalan menjadi biasa bahkan menimbulkan semacam kebiasaan baru, sebut misalnya moda rapat hingga proses ajar secara daring, pun moda belanja makanan bahkan sayur mentahan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Menantu penulis sendiri yang mempimpin retailer seluruh Indonesia untuk sebuah usaha dagang yang berpusat di Spanyol, sepanjang pandemi Covid19, itu melaksanaka pekerjaan-pekerjaannya dari rumah. Secara tidak langsung, ia menjalani konsep 'rumahku kantorku.'

Bagi negara-negara dengan warga yang telah memiliki kesadaran lingkungan hidup, prinsip 'rumahku kantorku' ini telah berjalan dan menjadi kebiasaan pada umumnya, bahkan jauh dan sangat jauh sekali sebelum adanya pandemi Covid19. Suatu ketika pada tahun 1996, misalnya, penulis sempat bertandang ke rumah sebuah keluarga di Nrum, Kobenhavn, Denmark. Pemilik rumah adalah seorang desainer dan istrinya adalah lulusan FSRD ITB tahun1969. Dari sana penulis menjadi tahu bahwa sang desainer mengerjakan seluruh tugas-tugasnya itu di rumah, bahkan ia tunjukan ruang kerja serta peralatan dan seperangkat komputernya. Ingat, saat itu tahun 1996, komputer dan internet belum secanggih zaman kita sekarang ini. Setiap kali usai pekerjaan desainnya, teman kita itu meng-copy-kannya ke keping cakram untuk kemudian diantarkan ke kantor pusat atau kepada klien dengan bersepeda. Ia, dengan ekonomi yang mapan, tentu memiliki kendaraan lain. Tapi bukan keberadaan itu yang hendak dikemukakan di sini, melainkan membuktikan bahwa dengan prinsip 'rumahku kantorku' itu bisa terlaksana Net-Zero Emissions sepenuhnya.

Tentu taksemua pekerjaan bisa di'rumahku-kantorku'kan. Pengerjaan bangunan, distribusi barang, pertanian, layanan masyarakat semisal rumah sakit adalah pekerjaan-pekerjaan yang harus diwujudkan di lapangan; namun taktertutup kemungkinan bagi pekerjaan yang bersifat administratifnya. Tapi di sisi lain, niscaya, taksedikit pula jenis-jenis pekerjaan yang sejatinya bisa dikerjakan dari rumah.

Dari yang taksedikit yang bisa di'rumahku-kantorku'kan, sebut saja diantaranya biasa menggunakan sebuah mobil. Berdasar data IESR (Institute for Essential Services Reform), aktivitas sebuah mobil yang berbahan bakar bensin atau solar (yang merupakan energi takterbarukan) akan menghasilkan emisi CO2 sebanyak 200 gram untuk jarak tempuh sejauh 1 km.[2] Jika mobil tersebut per hari pergi-pulang, katakanlah, menempuh jarak 60 km, maka ia akan menyumbangkan emisi CO2 sebanyak 12.000 gram atau 12 kg per hari. Perlu dicatat, data BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Jakarta menyebutkan bahwa ada 20.221.821 buah kendaraan (mobil penumpang, bus, truk, sepeda motor) yang setiap hari beraktivitas di Jakarta. Andai, katakanlah, 10% diantaranya termasuk yang bisa di'rumahku-kantorku'kan, maka didapat angka 2.022.182 kendaraan, dan bisa mengurangi emisi CO2 sebesar 24.266.184 kg per hari!

Sumbangan bagi NDC dan NZE

  

Bagaimanapun, itu bukanlah angka yang kecil, dan baru prakiraan atau hitung-hitungan atas kota Jakarta, belum lagi jika kita menghitung kota-kota besar lainya semisal Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Denpasar, dan seterusnya. Jika serempak nicaya akan didapat jumlah luar biasa besar yang bisa disumbangkan bagi NDC (Nationally Determined Contribution) atau target penurunan emisi di negara kita yang ujungnya adalah keikutsertaan secara konkret melaksanakan cita-cita NZE (Net Zero Emission) seperti yang dicanangkan di dalam Paris Agreement ataupun Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Convention on Climate Change -UNFCCC).

Dalam pelaksanaannya tentu taksemudah membalikan telapak tangan, di sebaliknya adalah perubahan dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru. Salasatu tantangan terbesarnya adalah masalah disiplin kerja. Bagi yang pesimistik mungkin akan berpandangan sebagai hal yang takmungkin. Tapi sejatinya sangat mungkin bahkan lebih mendorong setiap orang kepada tanggungjawab kerja serta produktivitas hasil kerjanya itu sendiri. Logikanya yang paling masuk akal adalah perpindahan dari 'disiplin' yang berdasar absensi atau kehadiran, itu bertransformasi ke moda atau sistem berdasar 'target kerja.'

Bahkan, jika kita berkenan jujur, sistem absensi atau kehadiran itu menyimpan banyak celah kemungkinan takjujur serta produktivitas yang minim. Banyak anekdot yang sesungguhnya nyata, misalnya, yang mengatakan 'mesin absen yang canggih pun bisa diakali,' atau 'hadir sih hadir, tapi waktunya lebih banyak dipakai main catur atau ngobrol ketimbang kerja.' Sementara sistem target kerja adalah jelas hitungannya langsung kepada buah kerja, dan langsung mengacu kepada 'ada' atau 'takada'nya seseorang, dan/atau 'berfungsi' atau 'takberfungsi'nya seseorang di hadapan tugas kerja yang telah ditargetkan untuk pencapaian tertentu.

Potensi ekonominya pun jelas. Hadir tapi lebih banyak ngobrol, niscaya hanya menghasilkan produk yang minim bahkan bisa nol. Sementara moda 'target kerja' sudah tampak gambaran pencapaiannya bahkan sejak masa perencanaan.

Berdasar pengalaman PSBB/PPKM yang awalnya dijalani dengan canggung dan bingung tapi akhirnya bisa, maka 'rumahku kantorku' pun seyogianya bisa.***

-------

[1] Selama Pandemi Covid-19, Emisi Karbon Global Turun 2,4 Miliar Ton, Kompas.com 13/12/2020.

[2] IESR, Tentang Jejak Karbon (Carbon Footprint) dan Kenaikan Emisi Gas Rumah Kaca.

Oleh: Herry Dim

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun