Mohon tunggu...
Herry Dim
Herry Dim Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja seni, penulis seni/kebudayaan, dan lingkungan hidup

Pekerja seni, lukis, drama, tata panggung teater, menciptakan wayang motekar. Pernah menulis di berbagai media serta berupa buku, aktif juga dalam gerakan-gerakan lingkungan hidup dan pertanian. Kini menjadi bagian dari organisasi Odesa Indonesia, dan sedang belajar lagi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jeprut adalah Perlawanan

22 Oktober 2021   16:03 Diperbarui: 22 Oktober 2021   16:08 1226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tapi pada kenyataannya TDE hanya menghasilkan kartel-kartel dan konglomerasi yang berkisar di seputar pusat kekuasaan. Hasilnya antara lain korupsi dan manipulasi pembangunan yang terjadi di mana-mana, semisal penguasaan atas hutan, tambang, dan aneka monopoli perdagangan pada kalangan tertentu. Rakyat sama sekali tak pernah mendapatkan tetesan TDE bahkan sebaliknya menanggung beban utang yang berkepanjangan.

Seluruh jalur kritik atas kebobrokan pembangunan itu dibikin mampet secara sistematis, tanda-tandanya terdapat pada simbol-simbol represif semisal pengultusan kata-kata stabilitas, subversi, bahaya laten komunis, dan sebagainya. Itu setara dengan efeumisme semisal kata "kritik membangun" yang padahal menjadi alat untuk menindas kritisisme. Kontrol negara dilakukan atas media yang lazimnya menjadi ruang kritik publik melalui pensaktian SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) di tangan menteri penerangan. Media yang terbit tanpa SIUPP dianggap media liar dan boleh diberangus setiap saat, sementara media ber-SIUPP senantiasa hidup dalam kecemasan karena pencabutan SIUPP itu sama dengan kematian.     

Itu sekadar gambaran teramat ringkas saja. Tegasnya situasi itu pula yang dirasakan sejumlah seniman Bandung.

"Kudu kumaha deui atuh urang teh?" (Jadi harus bagaimana lagi kita ini?) Demikian salasatu saja kalimat yang pernah dilontarkan (almarhum) Harry Roesli untuk menandakan bahwa hampir seluruh perangkat seni "macet" alias tak berdaya di hadapan kekuasaan. Sejumlah pentas konvensional memang masih terus dilakukan. Suyatna Anirun, misalnya, mementaskan "Badak-badak" berdasar naskah Eugene Ionesico tapi tak berimpak apa-apa karena dunia di luar dirinya tetaplah bermuka dan berkulit badak. Ine Arini yang sejak usia 10 tahun menggeluti tari tradisi, meski kelak hingga melewati usia 60 tetap menari dan mengajarkan tari tradisi, merasa ada yang tak terwadahi demi memperjuangkan gelegak keperempuannya. Tisna Sanjaya yang sesungguhnya "canggih" dalam hal penguasaan seni grafis merasa tak cukup bicara lewat karya datar yang tergantung di dinding, maka pada peristiwa "24 Jam Menolak Breidel" (yang dirancang Herry Dim, Harry Roesli, dan Dieter Mack) ia angkut seluruh peralatan kerjanya ke ruang publik untuk menjadi bagian aksi jeprutnya. 

Isa Perkasa yang sangat pandai menggambar merasa tak cukup lagi menggambar sosok yang sedang memakan bendera merah putih, demi menunjukan kecintaan sekaligus keperihannya atas nasib negeri maka ia presentasikan secara langsung adegan dirinya memakan bendera merah putih di hadapan publik yang menghadiri acara tahilan untuk Harry Roesli dan memperingati 100 hari wafatnya Munir di YPK. Pun Rahmat Jabaril yang sesungguhnya pelukis itu tidak lagi melukis kepala babi melainkan menghadirkan kepala babi secara langsung sepanjang pameran di YPK hingga membusuk. "Dalam lukisan tak akan pernah muncul bau busuknya sebagai semiotik kebusukan pemerintahan negeri ini," katanya.

Ringkas hikayat, jeprut lahir menerobos kebuntuan situasi sosial, politik, dan ekonomi; pada saat yang bersamaan ia pun melakukan bocoran terhadap kemacetan estetik. Agak jauh sebelum istilah jeprut meng"ada," sejumlah seniman yang merasakan kepengapan tersebut telah melakukan kegiatan-kegiatan "mahiwal," di antaranya pada tahun 1988 adalah kelompok Sumber Waras, di dalamnya adalah Isa Perkasa, Arahmayani, Marintan Sirait, Diyanto, Tiarma, Sony Coa, dll. Pada tahun 1989 adalah kelompok Perengkel Jahe (Isa Perkasa, Putu, Mutaqin, Jali, Yudi Yudoyoko, dll.). Tahun 1994 ada kelompok Nyeuneu Nyeni (Heru Hikayat, Gustaf Hariman Iskandar, Gusbarlian). 1996 kelompok Perengkel Jahe (Isa Perkasa, Gusbarlian, Nandang Gawe, dll) aktif kembali. Pada saat bersamaan pola-pola olah sukma dan olah tubuh pada acting course STB (Studiklub Teater Bandung) menjadi lebih mengedepan karena (mungkin) seperti menjadi celah bocoran bagi segenap ghirah keinginan untuk keluar dari formalisme. Di sini, rasanya, Tisna Sanjaya mulai tumbuh yang antara lain mengantar dirinya membuat instalasi "Ngadu Bagong." Demikian halnya Marintan Sirait yang sudah punya bekal dari Sumber Waras, banyak melakukan kegiatan "mahiwal" yang berpusat pada pengolahan diri yang sedalam-dalamnya.   

Suyatna Anirun yang juga mengajar pada generasi awal jurusan teater yang didirikan pada 1978 di ASTI (kini STSI), pun membawa tradisi olah sukma dan olah tubuh sebagai metoda pengajaran keaktoran. 

Sejauh yang saya ingat, adalah Sistriaji, Rachman Sabur, dan penulis sendiri menjadi "anggota" yang paling antusias dan kemudian membuat karya-karya "mahiwal" untuk kebutuhan formal akademik atau pun karya lepas secara bersama-sama. Belakangan adalah pula Endo Suanda yang mengajar dan menambah "kegilaan" kami, berikutnya adalah F.X. Widaryanto yang baru pulang dari AS memutar nomor-nomor dari Philip Glass untuk kemudian kami respon dengan gerak "tak berbudaya," "purbawi," "keluar dari kelaziman," demikian istilah-istlah yang kerap diucapkan. 

Karena perilaku "tak berbudaya" ini kemudian bocor dan/atau hadir di ruang publik (antara lain pada peristiwa GFAM, Gerakan Film Anak Muda, FFI 1985), saat itu pula sebutan "perengkel jahe" kian santer diucapkan. Kadang dalam nada cemooh seperti sering dialamatkan kepada Ine Arini, atau sekurang-kurangnya dalam nada tanya "nanaonan eta teh?"           

Bocoran "mahiwal" pada gilirannya semakin keluar dari sarang untuk memasuki ruang-ruang publik. Pada saat itu pula, hemat saya, gerakan ini memulai dirinya menjadi semacam "pernyataan." Diantaranya adalah Arahmaiani yang membebat pohon dengan kain verband dan kembang (tanpa paku) sepanjang jl Supratman, "proses untuk menjadi" bersama Harry Roesli menjadi "ritus senirupa -- senirupa ritus," "metateater," "rakit," "opera tusuk gigi," "24 Jam Menolak Breidel," "Ladang Mengerang" di pelataran tanah kosong rumah Tisna Sanjaya, "Ruwatan Bumi" di Studio Pohaci yang tak henti mendapat "terror" telefon, "Puitika Sampah" di CCF (kini IFI), bahkan di acara resmi pernikahan Harry Pochang, dll.

Tibalah pada acara, saya lupa entah saat sunatan Zico Albaiquni atau acara perkawinan Edi Purnawadi, saya menulis sebagai kado yang secara tegas memakai judul "jeprut" dan menawarkan "Lingkung Seni Jeprut Jaya" sebagai sebutan bagi komunitas "mahiwal" yang telah tumbuh itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun