Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Pasal Penodaan Agama Merupakan Implementasi Sila Pertama?

11 Mei 2017   11:51 Diperbarui: 11 Mei 2017   21:57 2444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari google.com

Kompasianer Yon Bayu menuliskan ini:

PDIP yang katanya selalu berada di garda depan dalam menjaga Pancasila, pun berniat menghapus pasal 156a- yang merupakan  implementasi Sila Pertama Pancasila, sehingga kelak setiap orang Indonesia bebas menista keyakinan dan isi kitab suci orang lain sebagai pengejahwantahan demokrasi liberal sejati.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/yonbayu/bodohnya-warga-jakarta-di-mata-dunia_5913211de5afbd4b5b64ffd0

Pancasila sebagai dasar negara kemudian diturunkan dalam bentuk undang undang. Orang bisa bisa dipidana kalau melanggar undang undang, bukan karena dia melanggar Pancasila. Maka, dalam pembelajaran Pancasila, Undang Undang Dasar memiliki nilai instrumental berkaitan dengan dasar dasar negara dan juga filosofi bangsa kita pancasila. Saya tidak ingin membahas tentang keseluruhan artikel tersebut, tapi saya tertarik untuk merefleksikan kembali, benarkah pasal tentang penodaan agama merupakan perwujudan atau implementasi dari sila pertama, ketuhanan yang maha esa?

Sebagai rumusan tentu saja saya dan kita semua menyetujui. Tak ada yang salah dengan rumusan tersebut. Bahkan dalam sejarahnya, PKI saja, menerima rumusan sila pertama itu. Yang menjadi masalah adalah turunannya, atau katakanlah implementasinya. Dalam kenyataannya, rumusan yang bagus sebagai dasar negara itu, dalam kenyataannya tidak sebagus rumusannya. Terlalu banyak masalah, karena kemudian rumusan yang indah itu disesuaikan dengan penafsiran penguasa. Sebagai catatan pengetahuan saja, dua kabinet awal sejak Indonesia Merdeka, Indonesia tidak memiliki departemen agama. Kabinet itu adalah kabinet presidensialnya Soekarno sampai Kabinet parlementernya Sjahrir.

Bukan tanpa alasan atau ketidaksengajaan, pertimbangannya adalah bahwa Tuhan pun memberikan kebebasan kamu mau bagaimana beragama. Termasuk seandainya tidak beragama. Menarik bahwa para pemikir bangsa yang merupakan pendiri bangsa ini, berfikir dengan jernih semacam ini karena mereka umumnya terpelajar dengan dasar dasar filosofis yang kuat. Memang ada nuansa politisnya yaitu untuk menghindari konflik keberagamaan antara Islam di bagian Barat indonesia dan Kristen di sebagian Timur Indonesia. 

Johannes Latuharhary mengatakan sebagaimana dikutip dalam buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, “...Jika mengadakan suatu kementerian urusan agama, nanti bisa adaperasaan perasaan tersinggung atau tidak senang. Umpamanya saja, jikalau menteri itu seorang Kristen, sudah tentu kaum muslimin tidak senang perasaan dan sebaliknya. Oleh sebab itu saya usulkan supaya urusan agama dimasukkan dalam urusan pendidikan...”

Abdul Abbas, anggota PPKI perwakilan Sumatera mengemukakan pendapat yang hampir serupa bahwa “...Supaya segala hal yang berhubungan dengan agama janganlah masuk departemen yang istimewa...Dan urusan agama lebih baik dimasukkan dalam Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Agama.” 


Kabinet Sjahrir periode kedua baru memiliki Departemen Agama dengan pertimbangan yang sangat politis, untuk meredam kekecewaan para pemimpin Islam sekaligus untuk meraih dukungan mereka dalam pemerintahan (Yudi latif dalam buku Negara Paripurna). Bahkan awalnya ada diskusi supaya departemen itu diberi nama departemen agama Islam saja. Dan memang, dilihat dari sejarahnya voting untuk diadakannya kembali adanya kementrian agama mengemuka berkat tiga orang utusan KNI Banyumas yang terdiri dari KH Abu Dardiri, H. M. Saleh Suaidy, dan M. Soekoso Wirjosapoetro, ketiganya adalah aktivis Partai Masyumi. 

Era pemerintahan Soekarno, Soeharto, dan sampai kemudian reformasi juga memiliki penafsiran 'struktural' yang berbeda beda berkaitan dengan Pancasila, khususnya sila pertama ini. Soekarno berusaha merangkul semua golongan dan aliran hingga kemudian muncul wacana NASAKOM; Nasionalis, agamis, dan Komunis. Dalam sejarahnya yang objektif yang mungkin sekarang dapat dilihat sangat bertentangan satu sama lain, namun tidak pada masa masa itu. Okelah, kita tidak masuk pada diskusinya. Yang mau saya tekankan adalah bahwa ini berkaitan dengan penafsiran bagaimana sila pertama diimplementasikan.

Lalu, bagaimana dengan pasal 156 a? mari kita lihat sejarahnya juga. Kita tahu pasal ini dikenal dengan pasal karet dan sepanjang 'karir'nya tampak sekali absurd dan disebut oleh Zainal Abidin Bagir dari CRCS UGM sebagai pasal dengan karir tidak gemilang. Hal hal yang tampaknya 'remeh' kemudian dituntut dengan tidak masuk akal. Saya kutip dari tulisan pak Zainal, "Bagaimana mungkin keyakinan (misalnya bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir dalam Islam) dijaga dengan pasal yang sama yang memenjarakan orang selama 5 bulan karena memprotes speaker masjid yang terlalu keras (seperti di Lombok pada 2010; seorang perempuan Kristen yang mengomentari sesajen Hindu (seperti di Bali pada 2013); atau seorang “Presiden” Negara Islam Indonesia yang mengubah arah kiblat dan syahadat Islam, namun kemudian pada 2012 hakim memberi hukuman setahun, untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Itu hanyalah beberapa contoh yang bisa diperbanyak dengan mudah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun