Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Kritis dan Nyinyir

7 Mei 2017   20:26 Diperbarui: 7 Mei 2017   20:53 1701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak ada penafsiran yang dari nol. ya, penafsiran di sini bisa dilihat sebagai penilaian, pemahaman, pengertian, bahkan kemudian pengajaran, dll. Akhir akhir ini semua serba bercampur aduk antara yang kritis dan yang nyinyir. Nyinyir ini juga baru baru sajalah agak heboh. Pokoknya kalau bisa berbeda dianggap kritis, bahasa bahasa negatifpun bermunculan. Ada kaum bumi datar, bani serbet, mulut jamban, motivator, kafirun, munafikun, kecebong, dll. Padahal dengan menyampaikan yang kontra, belum tentu dia kritis. Dan kritis jelas berbeda dengan nyinyir. Nyinyir tidak serta merta kritis. Kritis lebih bersifat nalar, rasional, sedangkan nyinyir lebih bersifat emosional dan cenderung tanpa nalar. Persis keduanya adalah berbeda.

Kecenderungan umum bagi orang yang nyinyir adalah dengan emosional. emosi, entah dengan cinta atau benci keduanya menjadikan tidak sehat sebuah penafsiran. Katakanlah orang yang tidak senang Ahok, melihat karangan bunga untuk Ahok. Maka, apapun yang terjadi pada karangan bunga itu tetap terbaca negatif.

 Bukan hanya negatif, hoaxpun dianggap sebagai kebenaran. Sementara orang yang mencintai Ahok, akan terharu dengan banyaknya karangan bunga itu. Sejauh saya perhatikan ciri ciri penyinyir ini banyak di kolom kolom komentar yang cenderung tidak diskusif, waton ngomong dan asal bicara saja. Tidak pakai data, atau sering sering yang dibicarakan bukan persis apa yang sedang didiskusikan. Pokoknya beda saja. jadi yang dibahas apa, yang dikomentari apa.

Nah, kalau juga mau kritis terhadap media sosial, sebagai ajang ngeblog bareng, Kompasiana juga tak berbeda dengan kolom kolom komentar itu, hanya versi panjangnya. Banyak, jujur saja, tulisan yang berlatar belakang nyinyir dan bukan kritis. Ya, tentu saja hal ini harus dipahami karena ini memang media warga. Tapi yang jelas lihat deh, banyak yang tulisan itu dibuat ngasal terus komentarnya juga ngasal tanpa data dan sekedar dengan metode 'pokoknya'. Jelas ini ga sehat dalam kacamata diskusi. Minimal ada referensi, minimal ada data. Dan sangat disayangkan bahkan terutama dalam pilkada kemarin, banyak akademisi dan penggiat pendidikan yang masuk kategori 'nyinyir' ini. Mereka menggadaikan atau bahkan mengkhianati nalarnya sendiri serta terutama tanggungjawab keilmuan tak ada lagi.

Jujur saja, saya sampai muak dan dalam salah satu group media sosial saya tinggalkan, padahal ini komunitas akademis.

Kembali ke point awal bahwa tidak ada penafsiran yang dari nol, ini merupakan salah satu konsep hermeneutika Haidegger yang mencoba mengkiritisi teori apriorinya kant. Bahkan dalam penafsiran yang berbasis data saja, penafsiran bisa saja tidak sehat karena tidak objektif, apalagi dalam penafsiran yang sekedar nyinyir. Artinya, belum tentu loh yang dengan data data itu terus kemudian penafsirannya oke, apalagi yang tanpa data. Lalu, dalam konsep ini penilaian selain tidak sehat juga bias dan sering sering standar ganda.

Dalam teorinya Haidegger, ada tiga hal yang mempengaruhi penilaian atau penafsiran yaitu latar belakang seseorang, sudut pandang seseorang, dan juga perbendaharaan pemahaman seseorang. Ketiga hal tersebut, menjadikan sebuah penilaian tidak sehat. Mengapa? karena dia sudah punya nilai tersendiri sebelum menilai. 

Katakanlah orang yang tidak suka Anies. Bagi orang yang tidak suka Anies, maka peristiwa Anies naik helikopter jelas akan dikatakan bahwa dia lebay, dia sok sokan, aji mumpung, dll.... sedangkan bagi orang yang suka Anies, tidak dia tidak lebay, dia cerdas dan punya alternatif. Dan jelas, ini akan standar ganda. Coba bayangkan kalau kemudian, peristiwanya dibalik. Ahok yang naik helikopter ke balaikota. Bagi yang suka Anies akan mengatakan ahok lebay, arogan dan soksokan. Sedangkan bagi yang ga suka Anies akan mengatakan oh tidak, dia tidak lebay, dia cerdas dan punya alternatif.

Jadi kesimpulannya? sama saja...... hanya situasinya yang berbalik. katakanlah sekarang, bagi orang Islam Ahok menyinggung almaidah itu penistaan, tapi kalau zakir naik menyinggung alkitab itu cerdas. Dan di sinilah kemudian saya katakan cara menilai semacam itu menjadi tidak sehat. Penilaiannya sangat subjektif. Ini sama sekali bukan sikap kritis, ini lebih dekat ke nyinyir. 

Satu satunya cara untuk bisa membuat kemajuan dalam penilaian adalah ambil jarak dan kemudian bersikap terbuka pada koreksi. Ambil jarak, kritik ideologi, dan juga gunakan analogi permainan... alias jangan baper kalau dikritik. Termasuk, ambil jarak terhadap keyakinan akan apa yang diyakininya benar. belum tentu loh ya.... Sayangnya ketika saya sampaikan hal ini ke kalangan akademis yang berlatar belakang agama umumnya mereka menolak dan mengatakan ini cenderung sekular. 

Apakah kritis yang sebenarnya? kata kritis berasal dari bahasa Yunani yaitu kritikos an kriterion. Kritikos  berarti ‘pertimbangan’ sedangkan kriterion mengandung makna ‘ukuran baku’ atau ‘standar’. Sehingga secara  etimologi, kata kritis mengandung makna pertimbangan yang didasarkan pada suatu ukuran baku dan standar. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kritis sebagai sikap tidak lekas percaya, selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, tajam dalam penganalisan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun