Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Politik, Keyakinan, dan Matinya Kebenaran

9 Februari 2018   17:45 Diperbarui: 9 Februari 2018   21:20 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar dari www.gurugeografi.id

Mengapa kebohongan itu memikat? kata Hannah Arendt, karena pembohong menggunakan harapan dan logika orang yang dibohongi. Demikianlah iklan, demikianlah kampanye sebagai iklan politik, dan mungkin kalau ga hati hati, demikianlah pula sebenarnya kepercayaan.

Tentu kita masih ingat tentang kampanye Donald Trump yang akan membangun tembok antara Meksiko dan Amerika, sebagian besar warga Amerika percaya. Panjang perbatasan meksiko dan Amerika adalah 2.000 mil, sekitar 3.200 km. Waktu ditanyakan berapa beaya yang dibutuhkan, Trump mengatakan 8 milyar USD. Ternyata setelah diverifikasi seandainya benar benar dibangun tembok ini, dibutuhkan 21 milyar dollar Amerika. Tidak masuk akal sebenarnya, tapi karena yang digunakan adalah emosi ketidaksenangan warga Amerika kepada imigran dari Meksiko, maka hal yang tidak rasional itupun diterima. Menarik bahwa masyarakat Amerika yang dikenal rasional, percaya pada kampanye yang ansichirasional. Inilah sekarang yang dikenal dengan post-truth era. Sebuah masa dimana, kebenaran sudah diabaikan diganti oleh sebuah keyakinan.

Maka, kalau di Amerika yang rakyatnya saja terdidik bisa menerima ketidakwarasan semacam itu, bagaimana dengan di Indonesia? Jakarta kurang lebih menunjukkan hal yang serupa. Ketidaksenangan mengalahkan rasionalitas. Sebaliknya, emosi mengalahkan nalar sehat. Teori teori kebenaran tidak lagi berlaku dalam hal ini.

Politik, dalam bahasa Yasraf Amir Piliang, dikatakan sebagai transpolitika, telah berselingkuh dengan motif motif lain. Politik kehilangan rohnya. Dia sudah bermain dengan ekonomi, dengan hukum, bahkan dengan agama. Motif politik tak beda jauh dengan motif ekonomi. Kita menjadi tidak begitu bisa memahami lagi potisi itu sebenarnya sedang memperjuangkan ideologi politik atau sedang mencari pekerjaan. Entah kaya entah miskin, mereka seakan akan mencari peruntungan di bidang politik. Maka, tidak perlu heran bahwa orang yang sudah dikenal kaya dan mapanpun terlibat korupsi. Tidaklah menjamin juga bahwa pengusaha yang sudah kaya, sudah mapan, sudah enaklah secara sosial kemudian diartikan sebagai orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri dan kemudian memperjuangkan sebuah ideologi. Trump adalah contohnya.

Kebijakan dalam membangun usaha, jelas tidak serta merta bisa disamakan dengan kebijakan mengelola sebuah masyarakat. Dalam sebuah usaha, bagaimana membranding produk, memuaskan customer, dan memasarkan produknya bisa saja dilakukan dengan sangat kreatif dan revolusioner tanpa harus mempertimbangkan pihak lain, pesaing yang dalam bahasa politik akan menjadi oposisinya. Kampanye adalah iklan politik. Sebenarnya tidak salah di sini, beriklan dan membranding diri seorang politikus. Tetapi, manakala kampanye sepenuhnya iklan yang kemudian tidak mengabaikan kebenarannya, politik itu sendiri sudah didegradasi keluhurannya.

Hanya sayangnya kok, kalau ga hati hati... iklan itu menipu dan ekspektasi masyarakat sesuai iklannya. Adalah wajar kalau seorang politikus membranding diri... memberikan harapan dan semestinya baik masyarakat maupun politikusnya punya dasar rasionalitas yang memadai. Kalau sampai salah satunya jauh dari nalar itu berbahaya... Apalagi kalau dua duanya jauh dari dimensi rasionalitas. Tinggal menunggu kehancuran masyarakat politik ini. Masalah utama di sini adalah bahwa kalau sudah menyentuh sisi emosi, rasio itu dinomorduakan. Persis seperti orang jatuh cinta... meskipun orang tuanya mengatakan pada anak gadisnya, nak... kamu punya cowok kok jelek gitu to? si anak akan menjawab... ga mama, dia ga jelek... tapi eksotik....

Atau si ibu bilang, nak... kamu punya cowok kok miskin to?

si anak akan menjawab... dan membela..., ga mama... dia ga miskin.. tapi sederhana....

Dalam kasus politik juga.... jelas jelas tidak masuk akal... tapi karena sudah masuk sedemikian dalam pada dimensi afeksi, emosi, maka dimensi rasio tidak diabaikan... Misalnya saja, kepada sekelompok orang yang ingin rumahnya tidak digusur meskipun menempati wilayah terlarang, si politikus mengatakan, "nanti kalau saya terpilih tidak akan ada lagi penggusuran... akan  kita usahakan alternatif lain tanpa penggusuran... kalau perlu diusahakan sertifikat...." Ga masuk akal... tapi karena menggunakan harapan dan logika orang yang diobjectifikasi, tetap memikat dan semua teori teori kebenaran, data, bahkan sisi hukumpun diajukan... tidak akan mempan.... sebaliknya, data itu malah jadi alat untuk menyerang... Apalagi kalau kebohongan itu disampaikan secara berulang sampai membentuk sebuah keyakinan... ini berbahaya. Akan memunculkan kekecewaan luar biasa dan ketidakpercayaan terhadap para politikus. Kebohongan, ketika disampaikan dengan keyakinan dan meyakinkan akan menjadi kebenaran alternatif, kebenaran yang sesungguhnya semu... Dengan demikian, samakah keyakinan dengan kebenaran? dilihat dari objeknya dan dari prosesnya jelas berbeda....

Tidak perlu diyakini bahwa 2 ditambah 2 sama dengan empat... itu kebenaran. Ga usah bilang, saya yakin kok 2 + 2 = 4. Keyakinan terbentuk justru ketika secara empiris tidak bisa membuktikannya atau belum sampai pada kebenaran objektif. Ketika keyakinan disamakan dengan kebenaran, maka sebenarnya seseorang atau bahkan masyarakat memasuki sebuah krisis kewarasan. Keyakinan tidak sama dengan kebenaran, dan menyamakan keyakinan dengan kebenaran berarti kita membiarkan kebenaran mati dalam logika....

Menarik untuk melihat survei kebencian yang dibuat oleh Wahid Institute... di situ ada tingkat kebencian yang secara absurd ditujukan kepada orang orang yang tidak pernah merugikan mereka secara langsung. Pertama adalah kepada kaum LGBT dan kedua kepada orang Komunis. Jujur saja kalau ditanyakan, memang kalian pernah dirugikan oleh mereka? Saya bisa memastikan bahwa mereka tidak pernah bersinggungan langsung dan berhubungan dengan kelompok ini. Ini hanya didasarkan pada kata orang. Entah siapapun orang itu tapi kepada mereka mereka telah diajari untuk tidak hanya tidak menyukai, tapi sampai pada sebuah keyakinan bahwa mereka layak dibenci. Dan kita tahu, issu tersebut sesungguhnya sangat politis... Ini secara politis sendiri dari dalam dirinya sendiri mengandung diskriminasi dan ketidakadilan. Dan absurdnya lagi dalam dunia politik, mereka seakan akan menghindari... mereka cuci tangan dan tidak ada yang memperjuangkan hak hak mereka yang 'tersangkut' dengan issu issu tersebut. Menyedihkan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun