Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memaknai...

18 Maret 2023   10:45 Diperbarui: 18 Maret 2023   10:54 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels-stas-knop-2916450

Ketika semalam kami berdua isteri diajak kawan yang anak-anaknya sudah terpisah di luar kota karena melanjutkan study S2 nya maupun yang sudah bekerja, rasa yang timbul adalah sepenanggungan. Dua kawan kami juga hanya berdua isteri. Jadi total hanya berenam.  Berbincang ringan di sebuah cafe yang dekat pemukiman yang padat oleh warga mahasiswa yang kost, dengan jalan masuk yang pas untuk satu mobil.

Saat melangkah masuk ke dalam cafe yang bernuansa agak tradisional dengan bangunan joglo jawa, kami sudah merasa sebagai mahluk asing yang berada di suatu komunitas yang berbeda generasi. Betapa tidak ? Seluruh meja dan kursi yang sudah hampir penuh semuanya diisi oleh mahasiswa dengan masing-masing membuka laptop di mejanya. Tidak lupa ada makanan dan minuman yang tersaji di dekatnya.

Sebuah perbedaan generasi terlihat nyata di depan mata, ketika kami mencoba mengamati sekeliling. Dengan fasilitas, dana yang berlebih dan kemajuan teknologi, begitu mudahnya mengakses bahan materi kuliah dan dengan komunitasnya begitu gampangnya berdiskusi dan bertukar pikir. Tiba-tiba terpikir sejenak, apakah generasi sekarang masih bisa merasakan dan memaknai arti sebuah peribahasa. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Ataukah malah terbalik ?

pexels-pixabay-301920
pexels-pixabay-301920

Karena pada faktanya, sekian jam kami berada di cafe, rasanya kami hanya melihat sebuah tatanan dari generasi sekarang yang bisa menikmati semua yang ada. Tidak ada sedikitpun wajah-wajah yang muram karena beratnya tugas-tugas kuliah ataupun beratnya membagi-bagi uang saku untuk sekedar bertahan hidup sambil terus kuliah. Mungkin ini sampling kecil ? Bisa jadi. Tetapi ketika kami mengamati sekitar cafe, ternyata banyak juga cafe-cafe yang malam itu dipenuhi anak-anak muda yang notabene adalah kaum mahasiswa.

  

Pikiran ini kembali menerawang ke masa lalu. Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, bisa ditebak berapa take home pay yang diterima setiap bulannya. Masih teringat ketika anak-anak masih sekolah dari Sekolah Dasar sampai yang Sekolah Menengah Atas, saat penulis bertugas di Semarang. Setiap pagi mereka menunggu uang saku dari hasil penjualan susu kedelai yang kami buat.

Bagi anak-anak mungkin ini suatu tempaan bagaimana melihat kekerasan hidup dan perjuangan hidup orang tuanya dari sudut pandang ekonomi secara keseluruhan. Namun dari sisi lain, ada sisi kemurahan yang Sang Khalik berikan, karena kami ternyata tetap bisa melewati semua, sekalipun dengan air mata. Bahkan kami tetap bersyukur karena anak-anak tetap bertahan di dalam koridor imannya yang kokoh, sekalipun dunia luar menawarkan ke-glamour-an, yang membuat setiap orang bisa tergiur dan terseret sekaligus jatuh. Memaknai ?

pexels-анна-рыжкова-3077882
pexels-анна-рыжкова-3077882

Beragam contoh di depan mata kita sepanjang bulan-bulan ini. Ada beberapa pejabat publik yang terseret dalam kasus kekayaan melimpah ruah yang seperti entah dari mana datangnya. Sebuah refleksi tentang peribahasa tadi. Apakah benar-benar ini menjadi kebalik. Karena yang terjadi adalah bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian. Dan akan berakhir di penjara. Benar begitu ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun