Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Menelanjangi Tubuh "Perempuan Jakarta"

10 Januari 2019   18:03 Diperbarui: 12 Januari 2019   18:32 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Istimewa/ Blitar TIMES

Di bait ke-1 ini, Jokpin memberi stimulus kepada pembaca untuk menghadirkan sosok perempuan [kupu-kupu] malam yang terhakimi. Selanjutnya, perhatikan bait ke-2 berikut:

Di jalanan para demonstran pesta pora
mengibarkan kata mengibarkan celana.
"Ayo kita sergap dia!"
"Ayo tangkap saya!" ia menantang
sambil ia pamerkan pantatnya yang matang.
Mereka lalu mengepungnya,
ingin meraih wajahnya, meraih sakitnya.

Pada bait ke-2, Jokpin menghadirkan situasi timbal balik antara penghakiman massa dan perempuan yang dihakimi. Sebagaimana demonstrasi pada umumnya, massa selalu membawa perangkat (poster tokoh dan sejenisnya) dibarengi orasi di sana-sini.

Sebagai teks sastra, puisi tidak terlepas dari situasi sosial masyarakat. Demikian persoalan yang diangkat Jokpin tidak terbatas pada manusia [tubuh] imajiner. Sebab ada relasi timbal balik antara si kreator, karya dan juga masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan Sapardi Djoko Damono.

Perempuan dalam puisi Jokpin adanya sebagai sosok "terpenjara" atas situasi sosial yang tercipta. Pada bait ke-2, situasi yang tersirat dalam simbol-simbol adalah respon sosial terhadap realitas dimaksud (sosiologis). 

Jokpin seolah mengajak pembaca untuk kembali merefleksikan "Pericope de Adultera" dalam Alkitab Kristen tentang kisah perempuan yang kedapatan berzinah berzinah. Ada konfrontasi antara Yesus dan ahli-ahli Taurat serta orang-orang Farisi terhadap perempuan yang harus dihukum mati (dilempari batu) karena kedapatan berzinah.

"Barangsiapa di antara kalian yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama kali melemparkan batu kepada perempuan itu" (Yoh. 8:7). Boleh dikata, penyair dalam puisinya tampak memposisikan diri [ungkapan Yesus) dalam dialog dramatis (perhatikan baris ke-3 dan ke-4 pada bait ke-1). Selanjutnya didukung oleh keterangan [actus] pada baris ke-5 sampai ke-7.

Jokpin ingin mengetegahkan bahwa massa (para demonstran) merasa diri paling benar, suci, dan tidak punya celah dosa. Mereka menginginkan perempuan itu dihukum. Respon perempuan sebagai manusia tampak menanggalkan otentisitas tubuh. Situasi menghendakinya untuk tidak menghargai dan memahami tubuhnya. Perempuan dalam eksistensinya menjadikan tubuh sebagai akar dari masalah sosial yang tengah dihadapinya. Perhatikan bait ke-3, berikut ini:

"Rebutlah aku!" ia merayu
dan mereka siap menyerbu.

Bait ke-3 yang terdiri dari dua baris ini menggambarkan situasi "pasrah". Sebab perempuan itu berjuang sendiri tanpa adanya sosok lain (the other). Irama dalam rima akhir pun menimbulkan efek euphony. Ialah suara sendu yang adalah keterwakilan perasaan perempuan tersebut. Berikut adalah lampiran bait ke-3:

Perempuan pengembara.
Aku telah lihat ia punya rahasia.
Aku telah lihat tailalat kecil di teteknya,
tailalat besar di pantatnya.
Aku telah lihat luka yang dalam dan kekal
di sentral tubuhnya.

Penyair adalah creator yang tampil sebagai sosok mahatahu. Selain peka dalam mengekspresikan estetika realitas secara efektif, puisi hanya bisa lahir dari rahim imaji penyair. Pembaca dalam kapasitas interpretasinya boleh mengandalkan ambiguisitas. Walaupun di satu sisi, puisi setelah ditulis, dipublikasikan dan dibaca sepenuhnya menjadi milik pembaca. Tetapi tidak bagi makna yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, (Teeuw, 1980:5) menandaskan "membaca puisi berarti bergulat terus-menerus untuk merebut makna yang disajikan oleh sang penyair". Disini, merebut makna mengandaikan makna sesungguhnya hanya ada di isi kepala dan bati penyair.

Pada bait ke-3, pilihan kata "pengembara" yang dilabeli penyair mengindikasikan perempuan jalanan atau "kupu-kupu malam". Ia yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain atau dari orang [pelanggan] yang satu ke orang yang lainnya. Penyair tahu tentang misery sekaligus misteri tubuh (privasi) perempuan. 

Di sisni, penyair hadir sebagai sosok yang mewakili massa. Bahwa perempuan dalam penderitaannya dibebani lagi oleh amukan massa. Segala privasi seketika menjadi konsumsi publik. Tanda-tanda, ukuran dan bentuk tubuh yang paling intim pun diketahui secara detail.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun