Mohon tunggu...
Herman Seran
Herman Seran Mohon Tunggu... Petani - Petani

Pekerja swasta yang menulis sebagai hobi dengan ketertarikan multispektrum. Konsentrasi khusus pada valuasi projek, manajemen organisasi, pemberdayaan masyarakat, komunikasi dan negosiasi strategis dan ekonomi ekstraktif.

Selanjutnya

Tutup

Money

Investasi Garam yang Menggarami

11 Februari 2019   08:29 Diperbarui: 11 Februari 2019   15:35 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Menjelang penghujung 2018 berita media massa menyiratkan eskalasi konflik vertikal antara masyarakat tradisional dengan pemerintah, berkaitan dengan program garam nasional yang sementara digalakkan di NTT. Tiga kasus terakhir yang menyebar di daratan Timor menggambarkan peningkatan tensi sosial tersebut. Ayub Titu Eki, pada Juni 2018 menyatakan ada penolakan atas klaim pemerintah terhadap lahan pantai lokasi tambak di Teluk Kupang. Ia keberatan ikut bertanggung jawab kalau pemerintah mengambil secara paksa. Mengutip pernyataan masyarakat Titu EKi berkata, "Masyarakat bilang, jika negara mau ambil tanah ini, silahkan bawa ekskavator, gali, dan kubur kami, baru ambil tanah itu." (lih. Kumparan.com 5 Juni 2018). Ketegangan sosial mulai mengeskalasi di Kabupaten Malaka. Saat menanggapi surat terbuka masyarakat kepada bupati Malaka, seorang pejabat Kabupaten Malaka di media online RADAR MALAKA (6/12/2018) menegaskan bahwa tidak boleh ada klaim tanah milik pribadi terhadap lahan rencana tambak garam di Pantai Selatan. Konflik yang lebih keras muncul di TTU, 21 Desember 2018, ketika disinyalir terjadi 'keributan' yang berujung saling melapor antara bupati TTU dan salah seorang warga Ponu, soal penolakan atas lahan sawah yang hendak dikonversi menjadi tambak garam (Timor Express Online 21/12/2018). 

Sengketa lahan garam di NTT mengulang kembali sejarah konflik antara pengguna atau pemilik tradisional dengan korporasi. Sejarah yang telah lama terjadi pada industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan, real estate dan infrastruktur. Persoalan pembebasan lahan dipastikan menghambat investasi dan produktivitas sektor-sektor pembangunan tersebut. Target investasi dan produksi garam NTT sampai hari ini tidak memenuhi target yang diharapkan karena alasan yang sama. 

Orang NTT memang perlu antusias menanggapi rencana investasi yang mendongkrak sektor ekonomi produktif Bumi Flobamora, yang didominasi oleh sektor servis dan jasa saat ini. Namun, projek raksasa yang melibatkan agregat ribuan hektar lahan, hendaknya pelajari secara serius agar tidak menjadi masalah bagi NTT di kemudian hari. Masyarakat perlu diyakinkan dengan kajian komprehensif dari pemerintah yang melandasi kebijakan pembangunan tersebut. Kita berharap tidak lagi menyaksikan improvisasi tak terkontrol para pemangku kepentingan yang berujung pada konflik, baik horizontal maupun vertikal. Kajian ilmiah yang inklusif dan komprehensif perlu disajikan pemerintah, disosialisasikan, dikritisi sebelum eksekusi. Gagal melewati proses tersebut akan berakibat investasi yang terhambat dan hampir pasti menimbulkan konflik. 

Menelisik pemberitaan media massa, terbersit setidaknya tiga persoalan besar yang dihadapi industri garam di NTT saat ini. Pertama, belum terlihat kajian komprehensif tentang costs and benefits kehadiran industri garam, berikut strategi efektif pemerintah dalam mengadvokasi secara persuasif para pemangku kepentingan. Kedua, absennya rencana tata ruang wilayah pesisir plus kepemilikan lahan yang tidak jelas menjadi sumber konflik antara pemangku kepentingan. Yang terakhir adalah ketidakjelasan mekanisme partisipasi masyarakat dalam produksi garam NTT. Ketiga persoalan ini akan dibahas lebih detail. 

Kajian komprehensif soal projek garam di seluruh wilayah NTT untuk melihat dampak besar dan penting baik secara ekonomi, sosial, lingkungan dan sustainabilitas perlu dilakukan dan disosialisasikan untuk mendapatkan penajaman. Dari studi ilmiah macam ini dapat diidentifikasi keunggulan-keunggulan yang dimiliki, peluang-peluang yang bisa dimaksimalkan, kelemahanan yang perlu diatasi dan tantangan-tantangan yang perlu diantisipasi secara strategis. Improvisasi berlebihan dari para eksekutor lapangan, yang kontraproduktif dengan tujuan pembangunan yang mensejahterakan rakyat, menunjukkan bahwa kajian itu belum ada atau belum terdiseminasi dengan baik kepada para pemangku kepentingan. Tiga pejabat yang memberi reaksi yang berbeda terhadap penolakan adalah contoh jelas dari absennya strategi penanganan permasalahan yang timbul. Kalau kita hubungkan dengan lahan tambak garam yang melibatkan perubahan rona alam pantai, seperti konversi ekosistem mangrove yang sangat krusial bagi lingkungan pesisir, maka kajian komprehensif tersebut semakin urgen. Kita hanya dengar pernyataan sapu jagat bahwa produksi garam akan menjadi sumber ekonomi baru bagi NTT, tanpa ditampilkan hasil input-output analysis yang dapat dirujuk. 

Menukik lebih jauh, salah satu sumber konflik yang dihadapi projek garam NTT adalah ketiadaan rencana tataruang wilayah pesisir dan ketidakjelasan kepemilikan lahan. Bahkan pengelolaan daerah sempadan pantai seharusnya didahului dengan penetapan rencana tataruang seperti mengacu pada Perpres 51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Pemerintah mengklaim bahwa lahan tertentu adalah milik negara. Bahkan ada oknum yang mencoba menggunakan aspek regulasi bahwa tanah pesisir tak bisa dimiliki orang per orang. Klaim ini berseberang dengan realitas bahwa banyak warga masyarakat NTT yang menjadikan lahan pinggir laut sebagai pemukiman, tempat mencari hasil laut yang mereka kuasai secara turun-temurun. Contoh klasik adalah ketidakjelasan lahan garam di Kabupaten Kupang, tampak dari pernyataan Menteri ATR, Sofyan Jalil, yang mengatakan HGU kepada PT Garam hanya bisa diberikan setelah memastikan status kepemilikan lahan. Ketidakjelasan status lahan menimbulkan konflik horizontal dan sekaligus vertikal yang berujung pada kerugian sosial dan ekonomi semua pihak. 

Persoalan ketiga adalah ketidakjelasan skema kerja sama antara para pemilik lahan, pemerintah dan pengusaha. Ketidakjelasan ini bisa disebabkan oleh kesengajaan untuk mengaburkan substansi ataupun karena memang tidak gariskan secara jelas. Misalnya banyak warga di Malaka, di samping alasan lain, menolak karena mereka takut setelah 30 tahun lahan mereka akan dimiliki oleh perusahaan. Di bagian lain, kita membaca bahwa bentuk kerja samanya adalah sistem plasma dan inti. Kesimpangsiuran semacam ini menimbulkan kegalauan yang berujung pada konflik.

 Untuk memastikan kejelasan program tambak garam di NTT dibutuhkan grand design yang komprehensif. Suatu kajian lintas disiplin dibutuhkan untuk mengidentifikasi potensi dan dampak sosial, ekonomi, lingkungan dan sustainabilitas industri garam NTT. Berdasarkan kajian tersebut, pengambil kebijakan perlu menentukan strategi efektif untuk menangkal dampak-dampak negatif yang muncul. Hasil studi dan strategi perlu dipastikan untuk dipahami para pemangku kepentingan, sehingga tidak ada pihak yang bermanuver secara kontraproduktif. Kita tahu pemerintah berniat baik untuk memajukan NTT. Tetapi setiap niat baik harus dikaji dengan akal sehat, agar hasilnya maksimal dengan biaya atau resiko yang minimum. Misalnya, kita memang perlu ekonomi garam tetapi pasti tak mau menderita kerusakan lingkungan yang beresiko merugikan kita sendiri. Adagium yang mengatakan perencanaan yang baik adalah setengah dari sukses kiranya masih valid. 

Penetapan Rencana Tata Ruang dan kepastian kepemilikan lahan pesisir perlu diselesaikan pemerintah. Merupakan persoalan lama yang terjadi hampir di seluruh Indonesia ketika banyak program yang mengandaikan penetapan rencana tataruang diabaikan pemerintah. Ketidakpastian semacam ini sering berujung pada ekonomi biaya tinggi dan meningkatkan resiko investasi dan sumber konflik sosial. Penulis pernah terlibat dalam kompensasi yang berlapis-lapis dengan membayar pendapatan negara bukan pajak karena kawasan hutan, membayar kepada masyarakat sebagai pemilik ulayat, membayar kepada pengguna lahan dan juga pemilik lahan, hanya semata untuk mengelola resiko dan menyelamatkan jutaan dolar investasi. 

Pengolalaan ekosistem pesisir bahkan lebih membutuhkan RTRW karena dampaknya yang serius bagi ekosistem dan masyarakat pesisir. Saking pentingnya, pemerintah pusat mengeluarkan Perpres No 51/2016 yang salah satu pasalnya mewajibkan penetapan rencana tataruang sebagai bagian dari pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Apalagi sebagai daerah kepulauan, wilayah pesisir menjadi sumber penghidupan masyarakat pesisir. Regulasi nasional yang mengklaim kekuasaan mutlak perlu diterapkan secara bijaksana di tingkat lokal, dengan memperhatikan keunikan dan kearifan lokal setiap wilayah. 

Jika program garam ini adalah program provinsi, pemerintah perlu mendesain opsi-opsi kerja sama yang dapat ditawarkan kepada perusahaan dan masyarakat lingkar tambak atau pemangku kepentingan lainnya. Jika diserahkan kepada perusahaan dan individu-individu maka hampir pasti akan menjadi bom waktu konflik masa depan. Pemerintah perlu mengantisipasi ini dengan memastikan kejelasan model kerja sama dan bagi hasil antar para pihak. Bahkan penting juga untuk membahas resolusi konflik antar pihak, termasuk pengelolaan dampak lingkungan, CSR dan pasca tambak. Dengan memastikan kejelasan opsi tentang pola-pola kerjasama dan benefit sharing yang jelas akan meminimalkan konflik masa depan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun