Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pedagang tempe di Pasar Depok

berminat dengan tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Masker dan Sikap Masa Bodoh yang Membahayakan!

26 Maret 2020   19:15 Diperbarui: 26 Maret 2020   19:18 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Jauh sebelum terjadi wabah corona, dan masker menjadi barang buruan, saya sudah terbiasa memakai masker sehari-hari. Di rumah selalu ada stok masker. Saya membelinya di toko obat Pasar Baru, Jakarta Pusat, dengan harga murah. 

Masker berwarna hijau 1 pak seharga Rp.17.500 dan yang putih, dengan bentuk lebih bagus -- pas di mulut -- harganya Rp.20.000. Kalau tidak sempat beli, banyak masker dijual,  baik di minimarket maupun di oleh pengasong, dengan harga bervariasi: ada yang menjual Rp.1.000 / buah ada yang Rp.7.500 / 5 buah.

Karena sering memakai masker, ada teman yang menduga saya sedang sakit. Dia cuma tidak bertanya apakah saya mengidap penyakit menular seperti tuberculosis (TB) yang bisa menular, karena bakterinya berhamburan setiap kali penderita batuk atau bahkan sekedar berbicara.

Kebiasaan memakai masker itu berawal dari tugas pembuatan film sosialisasi kesehatan dari Kementerian Kesehatan, yang mengangkat tentang penyakit TB (Tuberculosis) MDR (Multi Drug Resistance). TB MDR adalah penyakit TB dengan tingkat yang lebih gawat. Kalau dalam film Terminator, TB biasa itu termasuk golongan T.800, TB MDR masuk dalam golongan T.1000 (lebih canggih).

TB MDR disebabkan oleh sikap bandel penderita TB yang tidak tertib atau alpa meminum obat. Walau pun sudah berbulan-bulan minum obat, sekali saja alpa, maka obat yang diminum sebelumnya tidak berguna. Seperti Pil KB-lah. Karena bakteri yang sedang berhibernasi, langsung bangkit lagi, dan selanjutnya tidak mempan dengan obat yang diminum selama ini. Itulah sebabnya diberinama MDR (Multi Drug Resistance) alias kebal obat.

Untuk menaklukan bakteri yang kebal itu, harus diberi obat dengan dosis yang lebih kuat. Jangka waktu mengkonsumsinya pun lebih lama. Jika pada penderita TB biasa diperlukan waktu 6 -- 9 bulan, maka untuk TB MDR diperlukan waktu pengobatan selama 20 bulan. Itu pun, lagi-lagi, tidak boleh lolos. Oleh karena itu untuk mengobati penderita TB sebaiknya ada PMO (Petugas Minum Obat), yakni orang yang mengingatkan penderita agar minum obat tepat waktu sesuai dosis yang ditentukan. PMO cukup dari orang-orang terdekat penderita.

Untuk kepentingan pembuatan film tersebut, saya bersama juru kamera mendatangai beberapa tempat dan mewawancarai beberapa narasumber yang ada kaitannya dengan TB MDR. Di Jakarta saja kami harus masuk ke RS Persahabatan, RS Pengayoman (rumah sakit khusus Napi LP Cipinang) dan ke Rutan Salemba.

Di Bandung kami melakukan syuting di RS Hasan Sadikin, mendatangi rumah penderita di Cililin, mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh Asyiah Muhammadiyah Bandung yang membantu para penderita TB dan mantan penderita TB MDR untuk melakukan aktualisasi diri, bahkan sampai syuting ke permukiman Sub etnis Dayak Agabag di Kecamatan Lumbis, Kalimantan Utara.

TB MDR sangat berbahaya. Oleh karena itu siapapun tidak boleh dekat-dekat secara sembarangan dengan penderita tanpa menggunakan pelindung pernapasan (masker) yang memadai. Untuk masuk ke tempat perawatan penderita TB MDR di RS Hasan Sadikin, RS Persahabatan dan RS Pengayoman Cipinang, kami harus menggunakan Masker N95 dan pakaian khusus.

Betapa memprihatikan sekaligus mengerikan melihat penderita TB MDR. Untuk meminum sebutir obat saja mereka harus berjuang keras, karena obat itu akan menimbulkan efek yang tidak mengenakan bagi mereka. Banyak pasien yang harus mendorong obat dengan mamakan pisang agar bisa masuk ke dalam tenggorokannya, karena secara mental mereka sudah tertekan.

Karena ke luar masuk ke tempat-tempat penderita MDR dirawat itulah -- ada yang hanya berada di tempat tidur dengan tubuh hanya tulang berbalut kulit dan mata yang  mencuat, setelah syuting saya menjadi parno (paranoid). Selalu dibayang-bayangi bahwa udara yang kita hirup sehari-hari penuh dengan bakteri dan virus. Apalagi setiap hari saya naik KRL Commuterline yang sangat padat, sehingga untuk menggerakan badan saja sulit bila sudah berada di dalam. Belum lagi aromanya yang ngeri-ngeri sedap!

Seiring berjalannya waktu, sikap parno saya menghilang. Sesekali masih memakai masker, tetapi lebih banyak bolongnya. Kadang timbul juga sikap jumawa dan masa bodoh. Apalagi melihat begitu banyak orang yang tidak menggunakan masker -- terutama kaum lelaki -- sehingga kadang malu sendiri kalau memakai masker.

Saat ini, dengan merebaknya pandemic corona (Covid-19), memakai masker menjadi kewajiban. Walau pun penularan virus mematikan itu bukan cuma melalui pernapasan, karena dari materi-materi yang dipublikasikan, bersentuhan dengan pengidap corona atau memegang barang yang pernah disentuh oleh penderita, bisa tertular. Entah mengapa yang disosialisasikan selalu menggunakan masker, tidak termasuk sarung tangan.

Dengan merebaknya wabah corona, harga masker naik gila-gilaan. Masker yang dulu bisa didapat dengan harga Rp.20 ribu / pak, kini menjadi 300 ribu atau bahkan lebih. Karuan saja tidak semua orang bisa membeli masker dengan harga yang tinggi itu. Saya sendiri menyiasatinya dengan syal  penutup wajah yang banyak dijual di pinggir jalan. Entah seefektif apa benda itu untuk melindungi diri dari virus corona. Tetapi dengan memakai itu paling tidak perasaan lebih tenang.

Meskipun korban corona berjatuhan, dan jumlah penderitanya meningkat terus di Indonesia, penggunaan masker belum memasyarakat. Masih banyak orang yang bepergian tanpa menggunakan masker. Sikap untuk melindungi diri memang belum membudaya di Indonesia. Mereka yang bekerja di tempat-tempat berbahaya pun tidak menggunakan pelindung memadai seperti masker, sarung tangan, helm, jaket atau sepatu. Masyarakat di negeri relijius ini percaya masalah nasib dan takdir berada di tangan Yang Maha Kuasa. Mereka baru percaya tubuh perlu dilindungi, ketika musibah itu datang menimpa. Kesadaran datang selalu terlambat.

Dalam menghadapi amukan corona ini apakah kita akan tetap pasrah sampai musibah itu menimpa diri kita sendiri? Atau perlu berikhtiar sebagai mahluk yang diciptakan dengan akal dan pikiran!  Perlu diingat, ketika seseorang terpapar corona, akan jauh lebih sulit menanganinya dibandingkan TB MDR!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun