Mohon tunggu...
Herliawan Setiabudi
Herliawan Setiabudi Mohon Tunggu... -

Just an ordinary Muslim who wants to be an extraordinary One!\r\n\r\nBerbagi ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Jepang Mengajari Kita

21 April 2013   19:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:50 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

DULU, masyarakat Islam Indonesia dikenal oleh turis-turis mancanegara sebagai masyarakat yang penuh dengan budaya ramah-tamah, sopan-santun, lemah-lembut, jujur, beradab, dan seabrek pujian yang melekat tak terhitung jumlahnya. Tapi, sekarang, masih adakah sisa-sisa sifat ‘masa kejayaan’ itu?

Sebetulnya, bukan masalah pujian turis yang kita butuhkan. Kita butuh sifat-sifat itu semata-mata untuk kepentingan hidup kita sendiri di negeri ini. Itu pertama. Kalaupun nanti ada orang lain yang memuji dan bersimpati, itu nilai plus.

Nah, sekarang yang terjadi, di tengah-tengah masyarakat kita tersebar banyak kerusakan. Baik adab, moral, akhlak sampai kerusakan akidah. Di selebaran sederhana ini, The Kanzun College sekedar akan menampilkan kutipan tulisan dari www.eramuslim.com yang terbit pada 14 Mei 2008. Sudah cukup lama memang, tapi, mungkin belum banyak pula di antara kita yang telah membacanya.
Tulisan tentang budaya Jepang ini, kiranya bisa menjadi inspirasi sekaligus bahan introspeksi dan mampu menggugah kembali semangat kita untuk berbenah diri sehingga menghadirkan wajah baru muslim, berbeda dengan yang kini tampak kurang peduli dengan ajaran-ajaran agamanya. Mari kita simak bersama pelajaran-pelajaran berharga dari budaya masyarakat Jepang.

***

Beberapa Pelajaran dari Jepang

Perjalanan dakwah ke Jepang memberikan beberapa pelajaran berharga yang bermanfaat, serta memberikan ‘ibrah yang dapat membuka wawasan baru, sesuatu yang sangat penting buat bangsa kita untuk dapat berubah secara mental.

Disiplin Waktu

Menghargai waktu sudah jadi bagian akidah dasar orang Jepang. Di Jepang, waktu tidak lagi diukur dengan ukuran bulan, minggu atau hari, tapi berdasarkan ukuran jam dan menit. Ketika naik Shinkansen, panitia hanya memberi bekal waktu saja.”Pokoknya ustadz lihat jam saja. Begitu jam yang tertera di tiket itu sudah tiba, kereta pasti berhenti dan stasiunnya pasti benar”, begitu pesan mereka.

Dan benar saja, tepat pada waktunya, kereta memang berhenti. Tidak tahu stasiun ini apa namanya, pokoknya kereta berhenti pada jadwal di mana kami harus turun. Ya, sudah, turun saja. Dan benar sekali. Pas di pintu gerbong, panitia sudah menunggu. Hebat, jam di Jepang memang dibuat dari logam, tidak seperti di negeri kita, jam rata-rata dibuat dari karet, jadi bisa ditarik melar ke sana kemari.

Jalan Kaki atau Naik Sepeda

Mau bergaya naik mobil pribadi di Jepang? Boleh-boleh saja. Tapi sebentar, di Tokyo jarang ada tempat parkir. Kalau pun ada, harganya mahal. Dan jangan coba-coba parkir sembarangan, atau melebihi batas maksimal waktu yang dibolehkan. Bisa-bisa mobil kita ditempeli surat oleh polisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun