Mohon tunggu...
Herlambang Saleh
Herlambang Saleh Mohon Tunggu... Guru

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kastanisasi Pendidikan: Bahaya Tersembunyi di Balik Lebel Sekolah

24 April 2025   10:07 Diperbarui: 24 April 2025   10:24 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kastanisasai Pendidikan (Sember: Tangkapan Layar Pojok Satu.id)

Pendidikan di Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan yang mengkhawatirkan. Munculnya klasifikasi sekolah yang semakin tajam, dari Sekolah Rakyat untuk warga miskin hingga Sekolah Unggulan Garuda yang diposisikan sebagai jalur menuju universitas top dunia, menandai gejala yang lebih dalam: kastanisasi pendidikan. Istilah "kastanisasi" merujuk pada pembentukan struktur hirarki kaku dalam sistem sosial, dan dalam konteks ini, dalam dunia pendidikan.

Sekolah tidak lagi hanya berfungsi sebagai lembaga pembelajaran, melainkan berubah menjadi simbol status sosial yang kuat. Sekolah Rakyat sering diidentikkan dengan keterbatasan sumber daya dan siswa dari kelas ekonomi bawah, sementara Sekolah Unggulan Garuda digambarkan dengan fasilitas premium, guru internasional, dan kurikulum berorientasi global. Ini bukan sekadar perbedaan dalam fasilitas atau kurikulum; ini berpotensi melahirkan dampak sosial yang serius, seperti munculnya hierarki antar sekolah yang kaku.

Pengalaman dengan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) juga menunjukkan gejala yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, penggolongan kasta dalam sekolah seperti SBI dan RSBI adalah bentuk diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi. Ia menambahkan bahwa RSBI yang sudah ada seharusnya kembali menjadi sekolah biasa dan pungutan karena sistem RSBI harus dibatalkan karena merupakan bentuk ketidakadilan terhadap hak untuk memperoleh pendidikan yang setara.

Memang, RSBI/SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme, yang berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin. Sementara filosofi esensialisme menekankan pada pendidikan yang berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik individu, keluarga, masyarakat, baik lokal, nasional, dan internasional.

Namun, falsafah ini bertentangan dengan filosofi pendidikan nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Siswa dari keluarga kaya atau mampu memiliki kesempatan lebih besar untuk bersekolah di RSBI atau SBI, sementara siswa dari keluarga sederhana atau tidak mampu hanya memiliki kesempatan diterima di sekolah umum. Ini jelas-jelas merupakan bentuk ketidakadilan dan pengkastaan di kalangan warga yang seharusnya dihapus oleh revolusi kemerdekaan nasional.

Apakah ini yang kita inginkan dari pendidikan? Jika tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan potensi setiap anak tanpa diskriminasi, maka model segregatif ini justru merusak semangat kesetaraan. Pendidikan seharusnya menjadi ruang pertemuan lintas latar belakang, tempat setiap anak merasa bernilai, bukan terbagi dalam kelas-kelas sosial yang kaku.

Kita tidak menentang sekolah unggulan atau pendekatan inovatif seperti Sekolah Garuda. Namun, jika keberadaannya justru memperlebar jurang akses dan merusak rasa percaya diri antar siswa, maka ada yang salah dalam pendekatan ini. Pemerintah dan pemangku kebijakan perlu mempertimbangkan kembali apakah sistem seperti ini benar-benar mendidik atau malah mengkotak-kotakkan anak-anak berdasarkan status sosial.

Solusi tidak cukup dengan memberi subsidi pada sekolah tertentu atau melabeli sekolah lain sebagai "biasa-biasa saja". Kita membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh: peningkatan mutu pendidikan secara merata, pelatihan guru yang setara, serta penghapusan narasi bahwa kesuksesan hanya milik sekolah tertentu. Pendidikan seharusnya menjadi jembatan yang menyatukan, bukan tembok pemisah yang memperlebar kesenjangan.

Jika kita tidak mengubah arah ini, kita berpotensi menyemai benih-benih ketimpangan yang akan tumbuh menjadi tembok sosial tak kasatmata untuk Indonesia Emas. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bersama-sama menciptakan sistem pendidikan yang adil dan inklusif, yang memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk berkembang dan mencapai potensi penuh mereka. (hes50)

Referensi:
https://edukasi.kompas.com/read/2013/01/08/18431250/Ini.Alasan.MK.Batalkan.Status.RSBISBI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun