Mohon tunggu...
Herlambang Saleh
Herlambang Saleh Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

SDIT Mahal Guru Sejahtera?

14 Juni 2022   10:51 Diperbarui: 14 Juni 2022   11:14 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa waktu lalu di WAG ada postingan twittan dari salah akun twitter, pemilik akun twitter menuliskan, "Sekolah katolik ini "curang". Dia bisa bikin sekolah bagus, tapi yang masuk gak masalah kalau miskin. Beda sama sekolah islam. Ada yang murah, tapi kualitas gak mantap. 

Yang berkualitas, yang masuk kaya semua. SDIT anak saya lebih mahal daripada SD sekolah umum bagus non negeri haha". Dari twittan tersebut menimbulkan pertanyaan dalam diri penulis,"Mengapa sekolah islam identik dengan biaya pendidikan yang mahal? Seharusnya pendidikan Islam itu harus dirasakan oleh semua kalangan, baik menengah ke atas, ke samping bahkan ke bawah? Kalau sekolah Islam berbiaya tinggi, berarti hanya kalangan tertentu saja yang bisa bersekolah di sana?

Twittan diakun tersebut harusnya menjadi otokritik bagi sekolah-sekolah islam, terutama yang menyandang nama IT dalam memberikan pelayanan berkualitas. Sekolah berkualitas pada dasarnya tidaklah gratis. Istilah gratis biasanya muncul dari sudut pandang konsumen, konsumen pendidikan, dalam hal ini orang tua atau wali murid. Konsumen yang harus membayarkan beberapa komponen biaya dari jasa pendidikan yang telah diberikan oleh pihak sekolah, biaya tersebut tidaklah kecil nominalnya.

Namun dari sisi sekolah yang memberikan jasa pendidikan, sekolah tetap membutuhkan biaya oprasional dan biaya tersebut berbanding lurus dengan kualitas. Misalnya, sekolah harus memenuhi seluruh komponen biaya operasional secara mandiri yang sumber dananya murni dari orang tua siswa. 

Mulai dari pembangunan dan perawatan gedung, pengadaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan belajar mengajar, sampai pembelian hand sanitizer. 

Walapun sekolah sudah menerima BOS, namun belum dapat membuat biaya sekolah lebih terjangkau, karena dana tersebut tidak dapat menutup seluruh komponen biaya operasional. Sedangkan tidak seperti sekolah negeri yang status kepemilikannya dimiliki oleh negara yang seluruh komponen biaya operasional dicukupi oleh negara. Mulai dari gaji guru, pembangunan gedung, biaya operasional dan lain-lain.

Lalu bagaimana sekolah katolik sama-sama sekolah berlebel agama dapat memberikan pelayanan pendidikan berkualitas namun terjangkau untuk siswa yang memiliki keterbatasan finansial. 

Dalam diskusi WAG diketahui bahwa sekolah katolik menerapkan model subsidi silang untuk SPP dan uang pangkal. Maka dari model subsidi silang ini, orang tua yang mampu membayar SPP lebih besar dari yang sudah ditetapkan sekolah. Hal ini tidak terlepas dari kelekatan antara iman dan amal, karena iman yang baik akan menimbulkan amal yang baik. Sedangkan, amal yang baik tidak akan ada kalau imannya tidak ada.

Model seperti ini seharusnya dapat ditiru oleh sekolah IT, agar keterbatasan finansial tidak menghalangi anak-anak yang memiliki kemampuan untuk dapat sekolah berkualitas. Namun sayangnya sekolah IT "visinya" masih komersil, untuk subsidi silang rasanya jauh panggang dari api. 

Bahkan gaji gurunya "besar pasak daripada tiang", padahal SPP sekolah IT tidaklah kecil, yang penting berkah walapun sedikit. Keberkahan, satu kata yang semua orang pasti sepakat, namun jangan menggunakan hal tersebut sebagai dalih untuk menutupi kekurangan atau ketimpangan antara bayaran sekolah murid dengan kesejahteraan guru-gurunya. 

Sering kali untuk mencukupi kebutuhannya saja, bapak guru masih ada "ngamen" pada hari Jum'at, bahkan guru-gurunya kerja paruh waktu selepas sekolah di lembaga bimbingan belajar atau membuka les-lesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun