Mohon tunggu...
Heri Purnomo
Heri Purnomo Mohon Tunggu... Administrasi - nothing

-

Selanjutnya

Tutup

Catatan

One Day, No Rice: Memori Nasi Tiwul dan Nasi Jagung

13 Maret 2012   14:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:07 1422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sehari tanpa nasi  ? Wow, mana bisa. Begitu mungkin yang terbayang jika saat ini ditawarkan kepada rata-rata manusia Indonesia yang sudah terbiasa makan nasi ( nasi berbahan dasar beras ) dua sampai tiga kali sehari. Bahkan meskipun kita sudah makan roti , mie, atau makanan selain nasi yang mengandung karbohidrat dengan porsi yang banyak, masih saja perut ini menagih nasi. Tak terkecuali penulis..hehe.

Menyikapi Program yang dicanangkan oleh Pemda Depok, Jawa Barat dengan Program One Day No Ricenya, yaitu sehari dalam satu minggu tanpa makan nasi tentu sebagai warga Depok, perlu tahu apa maksud program ini, dan mengapa sampai program ini menjadi begitu penting untuk diterapkan. Padahal kita hampir tak pernah meninggalkan menu pokok ini untuk dikonsumsi sehari-hari, ibaratnya sudah seperti ikan dengan air. Seolah-olah tanpa nasi kita tidak bisa hidup. Tentu, sebenarnya tidak demikian.

Menurut Pemerintah Daerah Kota Depok, alasan utama yang melatarbelakangi gerakan One Day No Rice (ODNR) adalah untuk mengurangi konsumsi beras karena konsumsi beras di Indonesia sudah berlebih dari negara tetangga. Selain itu, gerakan ini juga untuk mendukung pola konsumsi pangan beragam, berimbang, bergizi karena sumber karbohidrat tidaklah didapat hanya dari beras saja. Gerakan ini juga memiliki dampak positif dibidang kesehatan dan ekonomi karena dapat menjaga kestabilan harga bahan pokok, menekan laju inflasi, dan membuat kita menjadi sehat karena tidak berlebihan dalam mengkonsumsi karbohidrat. Gerakan ini merupakan sarana untuk mengajak bangsa agar hidup secara sehat karena tingkat obesitas kita sudah cukup tinggi dan berlebih dalam mengkonsumsi karbohidrat yang mayoritas adalah beras hingga  70%. Gerakan ini juga dapat memperkuat ketahanan pangan dan mewujudkan penganekaragaman pangan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal.

Sebuah gerakan yang patut diapresiasi, karena kian hari perkembangan kehidupan masyarakat kita ternyata semakin sulit. Terutama dalam masa pemerintahan saat ini. Maka, dikhawatirkan apabila ketergantungan kita sudah demikian tinggi terhadap beras, akan lebih memperburuk lagi keadaannya jika tak bisa membuka diri untuk mencoba alternatif lain sebagai pola makan kita sehari-hari. Mungkin pada awalnya terasa berat, apalagi jika sedari kecil kita memang tak pernah makan makanan pokok selain nasi beras. Tapi hal ini tentu bisa dilatih, sedikit demi sedikit. Makanya pemerintah saat ini hanya menerapkannya dimulai dari lingkungan PNS di kota Depok dulu dan hanya sehari dalam satu minggu yaitu hari Selasa. Baru nanti perlahan-lahan akan menyebar ke seluruh warga Depok.

Dan memang, setiap program tentu selalu ada pertentangan dan penolakan dari warga. Namun, jika memang program ini nantinya akan memberi manfaat banyak, penulis yakin pada akhirnya akan bisa diterima dengan baik, meskipun harus selalu ada perbaikan prasarana, sumber daya dan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat.

Saya jadi teringat waktu kecil dahulu, di Wonogiri, yang dengan pantun khasnya 'Wonogiri gunung gandul, makan pokok nasi tiwul".   Sampai kelas VI SD  makanan pokok masih diselingi nasi tiwul karena beras memang mahal waktu itu. Tidak hanya itu, bahkan di awal-awal masuk SD , makanan pokok dulu ada 4 macam. Nasi tiwul, nasi jagung, nasi beras ( sangat jarang, mungkin sebulan juga belum tentu ketemu ) , nasi "Canthel" , yang terakhir ini sekarang sulit didapatkan. Saya tidak tahu namanya dalam bahasa Indonesia kini, yang pasti nasinya berbentuk bulat-bulat seperti mutiara, dan teksturnya lengket. Tapi enak juga sebagai makanan pokok, apalagi dengan parutan kelapa sangat enak.

Nah, intinya sebenarnya kita bisa beradaptasi dengan berbagai macam makanan pokok sebagai sumber karbohidrat. Hanya memang dalam kondisi sangat mudah mendapatkan nasi beras saat ini, tentu terasa berat  jika dipaksa untuk makan makanan lain. Namun, tentu jika mencoba memahami keprihatinan dan semangat pemerintah untuk mensukseskan program ini, dan juga sebagai rasa turut memikirkan kelangsungan kehidupan di masa yang akan datang dengan segala tantangan yang akan dihadapi bersama, pengorbanan  untuk mengurangi sedikit kenikmatan penulis rasa cukup wajar.

Dan sepertinya, tidaklah terlalu sengsara jika sehari saja makan nasi tiwul atau nasi jagung dalam seminggu, bahkan lebih dari itu. Terutama yang pernah mengenyam masa-masa kecil dengan makanan seperti ini.

Namun, sayangnya sampai saat ini ketersediaan alternatif pengganti nasi beras belum bisa didapat dengan mudah. Mungkin kalo ke Pasar tradisional yang besar baru ada yang menjualnya. Di samping itu, cara-cara membuat nasi non beras, seyogyanya pemerintah juga mensosialisasikannya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat.

Rasanya, makan nasi tiwul buat sebagian orang seperti bernostalgia, namun buat sebagian orang yang masih asing mungkin sebuah penderitaan atau pengorbanan barangkali ya. Tapi, jika keadaan memaksa, manusia pada umumnya  mampu beradaptasi dengan keadaan sesulit apapun.

13316434001040693812
13316434001040693812
13316434181574244526
13316434181574244526
Selamat menikmati nasi tiwul dan nasi jagung.  Semoga masa depan tak seburuk yang dibayangkan, dan kita tak sampai kelaparan karena bersikeras harus memakan nasi dari beras. Yuk, belajar lagi makan tiwul. Salam Tiwul.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun