Mohon tunggu...
Heri Purnomo
Heri Purnomo Mohon Tunggu... Administrasi - nothing

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen Mistik] Keris

2 Agustus 2016   20:38 Diperbarui: 4 Agustus 2016   03:28 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: visualheritageblog.blogspot.com

“Mbok, aku mohon...”

“Tidak, Le. Kapan lagi kamu akan berbakti pada orang tua sementara permintaan seperti ini saja kamu tak sanggup lakukan. Keris itu pusaka dan kebanggaan khas orang Jawa. Bahkan Pangeran Diponegoro dulu pun memiliki keris kebanggaannya. Padalah ia pun alim dalam urusan agama. Apakah kamu juga menganggap beliau musrik hanya karena memiliki keris?”

“Menurut Alung memang begitu, Mbok. Mungkin dulu Pangeran Diponegoro belum belajar secara total soal agama.”

“Hush. Kamu kok berani berkata seperti itu? Gak boleh sombong. Kalau kamu masih mengakui sebagai anak almarhum Raden Mas Susanto Widjaja, kamu harus dan harus melaksanakan amanah beliau. Titik!” Kali ini Simbok sedemikian marahnya menghadapi penolakan Alung. Mukanya memerah. Otot-otot di keningnya sempat membesar. Beruntung Alung cepat berusaha menyurutkan amarahnya setelah ia pasrah menerima apa yang disampaikan.

“Baiklah kalau begitu, Mbok. Aku akan menyimpan benda ini di rumah.”

“Nah, begitu. Apa susahnya merawat benda sekecil ini. Tidak memakan tempat dan biaya yang besar seperti merawat mobil dan motormu.”

**

Sesampai di rumah, Alung memandangi keris itu lekat-lekat.

“Wow, designnya sangat cantik. Keris ini benar-benar hasil karya sang empu yang mumpuni. “ gumamnya dalam hati. Diperhatikannya hulu keris tempat pegangan yang terbuat dari kayu berkualitas tinggi. Bermotif ukiran dari seniman yang mumpuni. Dicobanya dikeluarkan keris itu dari rangkanya. Diamatinya bagian pokok keris yang menampakkan lekukan bertingkat. Rapi dan halus permukaannya, namun beraura dingin, juga saat diraba dengan telapak tangannya. Ia takjub.

“Tapi... Aku tak mungkin menyimpan keris ini. “ Kembali Alung dililit keraguan. “Bukan apa-apa, aku hanya tidak mau keimananku tercemari dengan benda pusaka betapapun indahnya. Apalagi istriku pasti tak akan setuju. Ia sangat terobsesi untuk membersihkan segala hal berbau TBC ( Tahayul , Bid’ah dan Churafat ) sebagaimana menajdi doktrin keras di pengajiannya. Bahkan rumah ini saja tak ada gambar foto keluarga, karena ia tak mau ada gambar hidup di rumah ini. “

“Tidak! Tapi aku tidak mungkin membuang benda ini, bagaimana pun ini amanah dari almarhum Bapak. Aku harus cari orang yang sudi merawat benda ini. Akhirnya aku ingat seorang teman, kolektor barang-barang antik. Yah, aku rasa dia orang yang tepat untuk kutitipkan barang ini. Dan almarhum Bapakku pasti tidak akan terlampau kecewa di alam sana. Paling tidak masih ada yang merawatnya peninggalannya, meski bukan anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun