Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Waspada! Generasi Miskin Cinta Terus Terlahir

22 Maret 2018   18:14 Diperbarui: 22 Maret 2018   18:17 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekitar sebulan lalu di bulan Februari 2018, saya mengikuti acara Parenting di sekolah anak saya. Saya bersyukur bisa hadir di acara tersebut. Pasalnya, betapa banyak permasalahan yang terjadi pada anak-anak, sebagai buah dari kurangnya ilmu mendidik anak dari kedua orangtuanya. Saya termasuk salahsatu yang beruntung, karena di sekolah anak saya, acara parenting dilakukan minimal sebulan sekali. Secara terbuka, para orangtua, terutama para ibu saling berbagi tentang masalah anak-anak mereka, lalu pihak sekolah yang mengundang praktisi pendidikan anak memfasilitasi para ibu untuk berdiskusi tentang cara memperbaiki kesalahan mendidik anak.

            Saat itu, Ibu Eva, M.Mpd (Trainer School), mengungkapkan bahwa ketika beliau menjadi penasehat di salahsatu pesantren, ada satu peristiwa yang membuatnya terkejut. Saat itu, ada seorang Ibu yang menelpon pihak pesantren untuk berpesan ke anaknya, "Bu, tolong sampaikan ke anak saya, yang bernama Diah (nama samaran), ayahnya baru saja meninggal di Rumah Sakit."Ucap Ibu tersebut sambil menangis.

"Baik Bu, akan saya sampaikan."Jawab Bu Eva selaku pihak pesantren.

            Akhirnya, para guru, walikelas, kepala sekolah dan bu Eva memanggil siswa tersebut dan menyampaikan berita duka tersebut dengan sangat hati-hati. Tapi ternyata, di luar dugaan, anak tersebut justru tersenyum lebar, dan mengucapkan "Alhamdulillah, akhirnya ayah yang suka memarahiku kini sudah tiada."

            Pihak sekolah terang saja kaget luar biasa. Mereka tak menyangka, betapa anak yang terlihat baik-baik saja, bahkan dibekali dengan ilmu agama di pesantren, ternyata menyimpan luka mendalam terhadap ayahnya, sosok yang seharusnya sangat dicintainya. Bu Eva pun akhirnya mencoba menyelami apa yang sesungguhnya terjadi pada anak tersebut. Anak itu bercerita bahwa  ayahnya  termasuk ayah galak dan tidak dekat dengan anak-anaknya. Sejak kecil hingga terakhir kali ia pulang dari pesantren, Ia kerap dipukul oleh ayahnya. Kekerasan yang terjadi berulang kali, membuat Diah menyimpan dendam dan menghendaki agar ayahnya lebih baik tiada saja. Astaghfirullah.

            Semua orang tua pasti sedih, jika tau anak yang dahulu ketika awal pernikahan sangat didambakan kehadirannya, justru setelah besar menjadi anak yang durhaka. Jangankan mau mendoakan kebaikan untuk orangtuanya, justru keburukan yang dikehendaki. Naudzubillah.

            Menurut Bu Eva (praktisi pendidikan anak), pada kasus tersebut, ini terjadi karena ayah yang mendidik anak dengan kekerasan, telah mencabut cinta dari hati anak. Artinya, ketidakmengertianorangtua bagaimana berkomunikasi efektif dengan anak, bagaimana cara mendidik dengan cinta telah menyebabkan lahirnya generasi yang miskin cinta, meskipun anak tersebut pintar dari sisi akademik.

Mirisnya, fakta generasi miskin cinta semakin banyak setiap harinya. Berapa sering kita mendengar akhir-akhir ini, seorang murid yang tanpa rasa bersalah bersikap tidak sopan terhadap gurunya, bahkan hingga membuat gurunya terluka dan meregang nyawa. Tak jarang pula kita temui, anak yang tega membunuh ibu kandungnya, ayahnya, saudaranya, hingga temannya sendiri. Ini wajar terjadi, karena orang yang miskin cinta tak bisa memberikan cinta pada sesama.

Jika kondisi ini tak segera diperbaiki, hancurlah negeri ini. Bayangkan, jika generasi miskin cinta ini tumbuh menjadi besar dan memimpin negeri ini. Hasilnya, ia menjadi pemimpin yang tak peka terhadap kondisi rakyatnya. Ia akan menjadi orangtua yang tak peka terhadap kondisi jiwa anaknya. Mengerikan!

            Tanpa kita sadari, Generasi miskin cinta telah semakin banyak terlahir di zaman saat ini. Lahir dari  kedua orangtua yang tak siap mendidik anak, tak punya ilmu dan iman. Generasi miskin cinta dibesarkan di lingkungan masyarakat yang serba boleh (permisiff), yang miskin kontrol sosial, dan individualis. Generasi miskin cinta terus berkembang pesat dalam rahim penerapan sistem sekuler (sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, yang menegasikan aturan Tuhan dalam bernegara).

                Kita semua harus peduli dan menghentikan bibit lahirnya generasi miskin cinta. Langkah awalnya tentu saja dimulai dari diri sendiri, kita harus belajar bagaimana mendidik dengan cinta sebagaimana yang dicontohkan baginda Rasulullah SAW. Selanjutnya, sembari dipraktekan dalam lingkungan keluarga, ajaklah masyarakat sekitar untuk peduli juga, hingga budaya saling mengingatkan terbentuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun