Mohon tunggu...
Heri Kurniawansyah
Heri Kurniawansyah Mohon Tunggu... Administrasi - Pemimpi

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Narasi Gamangnya Pembangunan Birokrasi di Indonesia

21 November 2019   14:50 Diperbarui: 21 November 2019   21:37 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pekerjaan yang menumpuk. (sumber: Kompas/Didie SW)

"Maka ada skala priotitas yang bisa dilakukan dalam melakukan reformasi birokrasi menuju good governance, yaitu dengan melakukan public service reform (reformasi pelayanan publik)." 

Posisi Birokrasi 

Paradigma birokrasi dari masa ke masa akan terus mengalami pergeseran menuju kearah pilihan jaman manusia itu sendiri. Pergeseran tersebut telah terjadi dari jaman klasik menuju post modern. 

Dalam paradigma klasik menjustifikasi pemikiran Wilson (1887) dengan dikotomi politik dan administrasi, Taylor (1911) dengan prinsip manajemen profesional dan semangat bisnis dalam birokrasi, dan Max Weber (1920) dengan pemikiran institusi/birokrasi yang rasional. 

Seiring dengan berlalunya jaman, pemikiran tersebut pun mendapat kritikan yang tajam dari ilmuwan dan akademisi di era setelah Old Public Administration (OPA).

Dengan keyakinan yang tinggi, ketiga tokoh itu mengklaim bahwa cara kami-lah yang terbaik dalam menyelesaikan masalah publik terutama perihal pelayanan publik. Max Weber adalah tokoh yang paling fenomenal dalam memperkenalkan birokrasi yang rasional sebagai solusi permasalah publik.

"Pengalaman Reagen Membantah Birokrasi Rasional Weber"

Ketika presiden Reagan memimpin birokrasi di Amerika, Reagen mulai banyak mengeluh terhadap praktek birokrasi yang sebelumnya dikatakan sebagai model institusi yang paling rasional.

Faktanya bahwa birokrasi itu memiliki banyak masalah, pelayanan publik begitu rigid dan bertele-tele, penuh KKN, dan penuh red-tape (Keban, 2014). Sehingga Reagen dengan lantang mengatakan bahwa "Beaucracy is not a solution for our problem, but Beaucracy is problem". 

Reagen justru menganggap bahwa birokrasi itu sendiri adalah masalahnya. Ragamnya masalah birokrasi dari Weber (Weber's Fallacy) memunculkan model baru dengan mengadopsi semangat bisnis/swasta dalam praktek birokrasi yang digawangi oleh Osborn (1992) dengan sebutan paradigma New Public Management (NPM), dengan prinsip Reinventing Government. 

Paradigma tersebut pun tidak lama berlangsung setelah muncul pemikiran New Public Service (NPS) dengan doktrin "collaborative" dimana semua unsur akan menjadi pemain, baik pemerintah maupun non government. 

Dalam perkembangannya muncullah istilah E-government -- Indigenous local government - Smart City, dan lain lain. 

Proses tersebut membuktikan bahwa model birokrasi akan terus mengalami perubahan seiring perkembangan kebutuhan manusia sesuai jamannya, dan negara-negara barat telah mengalami pergeseran tersebut yang disesuaikan dengan dinamika masyarakatnya itu sendiri. 

Al Gore adalah sosok yang pernah memimpin birokrasi di Amerika pun mengatakan bahwa "Reinventing is an on going process but it's never finished", artinya bahwa perbaikan birokrasi menuju reformasi yang diinginkan itu bersifat "sustainable improvement". 

Sementara di negara kita, kebutuhan dan perubahan dinamika sosial masyarakat yang terus berkembang tak diikuti oleh perubahan model birokrasi itu sendiri.

Bayangkan di era milenial saat ini dengan kemajuan teknologi informasi yang begitu masif, pada saat yang sama model birokrasi yang digunakan pun masih model birokrasi tradisional adopsi Weber.

Hal tersrbut sehingga terjadi ketidaksesuaian antara prinsip birokrasi dengan kondisi masyarakat yang dilayani, akibatnya muncul permasalahan- permasalahan birokrasi yang tak berkesudahan.

"Nir-Birokrasi"

Saya kira masuknya orang-orang baru dalam birokrasi dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan penguasaan teknologi yang lebih mapan akan mampu mengurangi patologi birokrasi di negeri ini, namun nyatanya aksi-aksi tersebut belum menuai hasil yang signifikan. 

Data dari Indonesian Invenstment Coordinating Board 2018 menunjukan peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia menduduki peringkat ke 116 di dunia, sementara perihal masalah kemudahan berbisnis adalah masalah birokrasi itu sendiri.

Buruknya kinerja birokrasi selalu menjadi determinasi turunnya minat investasi secara global, padahal investasi merupakan salah satu syarat penting yang diperlukan negara untuk keluar dari krisis yang berkepanjangan (Dwiyanto, 2006). 

Hasil survey Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun sebelumnya memberikan penilaian indeks prestasi pelayanan publik 5,42 dari skala 1-10. Artinya, masyarakat menilai pelayanan publik di Indonesia tidak memuaskan, cenderung korupsi, dan merugikan. 

Temuan ini sejalan dengan penelitian PERC beberapa tahun yang lalu yang menempatkan kualitas birokrasi Indonesia ranking kedua terburuk di Asia setelah India.

Untuk menyelesaikan isu reformasi birokrasi yang tak kunjung usai tersebut, ada banyak aspek yang harus diintervensi oleh pemerintah, sehingga pemerintah harus melakukan perubahan yang radikal terhadap transformasi budaya birokrasi (Kotter, 1990).

Acuhnya Meritokrasi

Tentang transformasi birokasi menuju birokrasi yang lebih baik, itu merupakan domain kepemimpinan, yang berarti pemimpin harus mampu mencetak pemimpin-pemimpin di level menengah dan level bawah yang mampu menjalankan visi misi pimpinan atau top manajemen dengan baik. 

Karena itu pemimpin harus mampu memperhatikan 4 hal dalam transformasi budaya birokrasi yaitu managing change (pengelolaan perubahan), develop leaders (pengembangan kepemimpinan), managing people (manajemen SDM), dan governance culture (budaya kerja). 

Keempat unsur tersebut merupakan domain softside of change atau lebih kepada permasalahan manusianya itu sendiri. 

Sementara pemerintah saat ini terlalu banyak memberikan porsi perubahan kepada hardside of change (sistem dan tekhnis). 

Reformasi telah direduksi hanya sebatas menaikkan gaji sebuah departemen ataun institusi dan mengangkat tenaga honorer menjadi PNS, sementara urusan SDM tidak terlalu serius untuk ditangani (Effendi, 2009). 

Pada sisi lain, sistem politik yang terjadi terkadang bertentangan dengan sistem UU ASN itu sendiri, pada akhirnya meritokrasi itu sulit untuk dilaksanakan, meskipun dimulut para penguasa perihal tersebut acap diucapkan. 

Maka ada skala priotitas yang bisa dilakukan dalam melakukan reformasi birokrasi menuju good governance, yaitu dengan melakukan public service reform (reformasi pelayanan publik).

Melecut Birokrasi Adopsi Al-Gore

Mengacu kepada pemikiran Al-Gore, dia mengatakan bahwa good governance is smaller government, smarter government, and stronger regulation.

Ketiga prinsip ini cukup sukses dilakukan pada era Bill Clinton di Amerika Serikat, pada sisi lain ada nilai yang bisa diambil dari ketiga prinsip tersebut untuk dijadikan rujukan paradigma reformasi birokrasi di Indonesia. 

Misalnya Smaller government sejalan dengan prinsip reinventing government, dimana prinsip partisipasi sangat diutamakan. 

Dalam pemikiran ini, tidak semuanya pekerjaan pemerintah bisa diselesaikan oleh pemerintah sendiri, oleh karena itu pemerintah butuh partner, dalam hal ini adalah civil society dan privat sektor. 

Itulah salah satu ciri utama good governance, sehingga terjalinlah prinsip collaborative govermnement dan public privat partnership. 

Secara teknis prinsip tersebut bisa dijabarkan dalam praktek penguatan perampingan struktur melalui pendekatan downsizing, dan penajaman serta penyederhanaan prosedur melalui pendekatan streamlining atau de regulasi line-management. 

Prosedur yang terlalu panjang dalam sistem pelayanan publik merupakan bentuk birokrasi klasik yang sebenarnya sudah tak laku di era kemajuan teknologi saat ini

Bahkan prosedur yang panjang merupakan bentuk ketidakpercayaan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, akibatnya publik menjadi bosan dan distrust terhadap pemerintah (Kurniawansyah, 2018).

Akibat lainnya adalah munculnya calo-calo birokrasi dalam memperpendek pelayanan birokrasi melalui "second way" yang tidak dibenarkan. 

Dalam tataran eksternal, ada beberapa hal yang sejatinya bisa dilakukan dalam melecut birokrasi, yaitu dengan penguatan diskresi pada tataran street level birokrat, dan sistem instentif yang baik pada street level birokrat yang tidak memiliki mental blok. 

Selain itu, secara eksternal bisa dilakukan dengan mengurangi sekat-sekat formalitas dalam birokrasi sehingga top manajer dalam organisasi/birokrasi mampu melihat kompleksitas pemasalahan dalam birokrasi (Wilson dalam Pereira, 2009), serta pimpinan lebih mampu menggali informasi bawahannya (Thoha,2003). 

Hilangnya formalitas dalam birokrasi akan membuat publik merasa "tanpa beban" ketika berhadapan dengan birokrasi. 

Pada saat yang sama seorang pemimpin harus bisa menantang kebiasaan yang memperlambat proses pelayanan publik dengan alternatif yang lebih strategis, sehingga outputnya akan muncul "trust publik" itu sendiri kepada birokrasi pemerintah.

"Kita terlalu sibuk menghitung berapa jumlah orang yang mengikuti diklat, tapi kita tidak sibuk menghitung berapa manfaat dan pengaruh diklat tersebut. Kita terlalu sibuk menghitung angka, namun kita tidak sibuk menghitung seberapa besar manfaat angka itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun