Paradigma tersebut pun tidak lama berlangsung setelah muncul pemikiran New Public Service (NPS) dengan doktrin "collaborative" dimana semua unsur akan menjadi pemain, baik pemerintah maupun non government.Â
Dalam perkembangannya muncullah istilah E-government -- Indigenous local government - Smart City, dan lain lain.Â
Proses tersebut membuktikan bahwa model birokrasi akan terus mengalami perubahan seiring perkembangan kebutuhan manusia sesuai jamannya, dan negara-negara barat telah mengalami pergeseran tersebut yang disesuaikan dengan dinamika masyarakatnya itu sendiri.Â
Al Gore adalah sosok yang pernah memimpin birokrasi di Amerika pun mengatakan bahwa "Reinventing is an on going process but it's never finished", artinya bahwa perbaikan birokrasi menuju reformasi yang diinginkan itu bersifat "sustainable improvement".Â
Sementara di negara kita, kebutuhan dan perubahan dinamika sosial masyarakat yang terus berkembang tak diikuti oleh perubahan model birokrasi itu sendiri.
Bayangkan di era milenial saat ini dengan kemajuan teknologi informasi yang begitu masif, pada saat yang sama model birokrasi yang digunakan pun masih model birokrasi tradisional adopsi Weber.
Hal tersrbut sehingga terjadi ketidaksesuaian antara prinsip birokrasi dengan kondisi masyarakat yang dilayani, akibatnya muncul permasalahan- permasalahan birokrasi yang tak berkesudahan.
"Nir-Birokrasi"
Saya kira masuknya orang-orang baru dalam birokrasi dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan penguasaan teknologi yang lebih mapan akan mampu mengurangi patologi birokrasi di negeri ini, namun nyatanya aksi-aksi tersebut belum menuai hasil yang signifikan.Â
Data dari Indonesian Invenstment Coordinating Board 2018 menunjukan peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia menduduki peringkat ke 116 di dunia, sementara perihal masalah kemudahan berbisnis adalah masalah birokrasi itu sendiri.
Buruknya kinerja birokrasi selalu menjadi determinasi turunnya minat investasi secara global, padahal investasi merupakan salah satu syarat penting yang diperlukan negara untuk keluar dari krisis yang berkepanjangan (Dwiyanto, 2006).Â