Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menunggu Proses Hukum Pagar Laut

4 Februari 2025   08:56 Diperbarui: 4 Februari 2025   09:23 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pagar Laut Menunggu Kepastian Hukum, Sumber Foto Kompas.com

Saya tertarik pada pendapat yang saya kutip dari hukumonline.com. Pendapat tersebut disampaikan pakar hukum agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Nurhasan Ismail. Menurutnya, tanah perairan bisa dilekatkan alas hukum hak atas tanah. Nurhasan mengacu pada pengertian tanah dalam Pasal 1 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) bukan hanya tanah yang ada di daratan, tetapi juga tanah yang ada di bawah kolom air. Artinya, baik perairan pesisir maupun yang ada di danau atau sungai termasuk dalam definisi tanah. Pasal 1 ayat (4) UUPA menyatakan, dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi yang di bawahnya serta yang berada di bawah air.

Tentu pendapat ini seperti “melawan arus”, karena, terkait dengan kasus pagar laut di Tangerang, begitu muncul ke permukaan sudah tersebar pendapat bahwa Sertifikat Hak Milik Guna Bangun (SHGB) dan SHM (Sertifikat Hak Milik) di laut merupakan “akal-akalan” alias “mengada-mengada”  dan tidak lazim.

Bahkan sebagaimana diberitakan media, sudah diambil tindakan berupa sanksi sebagai bentuk tanggungjawab atas penertiban sertifikat tersebut. Beberapa nama pejabat yang ada di jajaran Kementerian Pertanahan ATR/BTN tersebut dijatuhi sanksi berat bahkan penghentian dari jabatannya.

Adanya tuntutan dari berbagai pihak agar aparat penegah hukum menindak lanjuti hingga proses untuk kepastian hukum juga menyeruak. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitan tadi bisa dijerat dengan tindak pidana korupsi.

Merespon hal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung, sudah mulai menurunkan tim-nya, meski dengan obyek atau prespektif yang berbeda. Sedangkan Polri mensinergikan dengan pihak-pihak seperti  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun pihak lain, untuk memastikan ada unsur pidana atas perkara a quo.

Penafsiran yang disampaikan Prof Nurhasan maupun pendapat yang mayoritas muncul di awal perkara ini, yaitu bisa tidaknya “laut” disebut sebagai obyek yang bisa diterbitkan sertifikat, sejatinya tidak signifikan dengan langkah-langkah hukum yang dilakukan aparat penegak hukum. Mengapa demikian?

Menurut saya, perbedaan penafsiran atas Pasal 1 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) tentang tanah, berada dalam konteks substansi, sedang yang dilakukan oleh aparat penegah hukum (APH), melihat konstruksi bagaimana proses itu dilakukan. Proses yang di dalamnya ada unsur suap-menyuap, intimidasi, pemerasan ataupun abuse of power lainnya, bisa dicluster-kan dalam perbuatan korup.Jadi akan membuang energi untuk sekedar berdebat ihwal pengertian atas tanah tadi (sebagai substansi) dan langkah penyelidikan, harapannya bisa lanjut pada proses penyidikan (dengan ending perkara bisa inkracht van gewijsde) dari aspek proses-nya.

Dari titik inilah, modus korupsi berupa penyalahgunaan wewenang, penyuapan melalui pengaturan izin, pemalsuan dokumen sangat mungkin terjadi. Proses terjadi korupsi, tidak mungkin dilakukan perseorangan, dipastikan akan terjadi dengan pelibatan beberapa pihak dan penguasa.

Melihat sebuah proses, tentu akan terjadi step by step atau tahapan-tahapan yang harus dilalui sampai akhirnya tujuan bisa tercapai. Tidak mungkin sebuah proses tidak berkelanjutan, dipastikan akan berulang dan membentuk sebuah sistem. Hal yang penting lainnya dari sebuah proses dipastikan juga akan memanfaatkan sumber daya, baik manusia, celah dari regulasi serta bentuk-bentuk komitmen fee.

Penuntasan perkara pagar laut, menjadi titik kesadaran kolektif, bahwa jangan sampai sumber daya alam, bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang karena mempunyai kekuasaan dan uang. Mata rantai niat jahat atas pemanfaatan sumber daya alam harus berakhir dengan prinsip keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Aparat Penegak Hukum harus menunjukan keterpihakannya kepada negara. Tindakan yang tegas, mendudukan pada proses hukum, menunjukan negara hadir dan menjaga komitmen dalam rangka terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini juga memberikan dampak kepercayaan publik atas keseriusan pemerintah dengan melihat ke depan dengan menjalankan apa yang harus dilakukan, sebagaimana adagium hukum gouverner c’est prevoi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun