Foto Dokumen Pribadi
Saat mengunjungi Yogyakarta, satu keinginan saya adalah makan nasi lodeh di pinggir sawah, yang menjadi icon warung kopi klotok yang terletak di pinggir jalan Kaliurang. Tidak jauh dari kampus UII. Warung makan di pinggir sawah yang viral tersebut, saat saya berkunjung, Kamis kemaren, tidak kurang dari 100 mobil terparkir dan puluhan sepeda motor. Selain saya, ratusan pengunjung lain memenuhi "ruangan yang ada." Saya beri tanda petik, karena ruangan warung makan tersebut bukan hanya berada di  bangunan induk yang berbentuk khas Jogja, namun juga ada yang di teras dan di halaman samping serta belakang bangunan induk teras yang menghadap ke sawah.
Kopi Klotok, demikian nama yang populer bagi warung tersebut. Menurut Sigit, driver yang bertindak sebagai guide dalam perjalanan kali ini, bercerita bahwa di tahun 2015, warung kopi klotok masih biasa-biasa saja. Pengunjungnya kebanyakan para mahasiswa yang berlama-lama mengerjakan tugas di situ. Dengan menghadap hamparan sawah, para mahasiswa berkelompok atau menyendiri, mengerjakan tugas kampus dengan laptop, sambil "ngopi". Makan disediakan dengan menu khas nasi, lodeh dan sayur asam serta telur dadar. Untuk sambal disediakan sambal terasi.
Foto Dokumen Pribadi
Dengan suasana yang menyatu dengan alam tersebut, masih cerita Sigit, lama-lama, banyak juga pelanggan yang bukan mahasiswa. Terlebih setelah suasana kopi klotok mulai "di up load" di media, hingga viral dan mengendorse beberapa orang artis ternama. Singkat cerita, pada saat kunjungan saya kemaren, dengan mata kepala sendiri meyaksikan "keseruan" makan siang ala Kopi Klotok.
Berawal dari turun mobil untuk parkir, mata sudah melihat banyaknya pengunjung. Kaki melangkah untuk antri. Pada tempat antri ambil makanan ala prasmanan, disediakan piring ala jadul dan yang ala masa kini. Tinggal pilih. Setelah itu, mau ambil sambal yang sudah tersedia atau membuat sendiri, juga disediakan. Itulah menu "utama" yang terangkum dalam satu paket dengan nama paket puas seharga Rp. 13.500. (Nasi, sayur lodeh, sayur asem dan sambal). Bila ingin menambah telur dadar  harus bayar Rp. 7.500.
Foto Dokumen Pribadi
Di sela-sela menikmati makan khas jawa tersebut, lalu lalang pengunjung membuat sensasi tersendiri. Ada yang tidak kebagian kursi, milih dipojokan, atau di dekat parkiran. Sementara yang lesehan di pinggir sawah, sambil memperhatikan anak-anak meraka berfoto ria dan bermain di hamparan sawah dengan padinya yang menghijau. Tidak lupa, telinga juga mendengar gemericik air dari kali yang mengalir di sekitar warung tersebut.
Saya menikmati nasi lodeh plus sayur asem, kombinasi sambal trasi yang pedas banget. Sesekali telor dadar dipotong dengan sendok dan saya makan pelan-pelan. Saya memesan air putih untuk minumnya. Meski di situ terkenal dengan minuman kopi klotoknya sebagai minuman utama, saya kurang tertarik. Selesai makan "yang sebenarnya" biasa saja tersebut, saya mengililingi area parkir. Ternyata oleh owner sudah dikembangkan juga untuk "out let" oleh-oleh seperti tempe mentah yang digungkus daun, atau ingin menikmati pisang goreng yang khas dan sangat disukai. Semua dilayani oleh pegawai yang ramah dan tetap menjaga kebersihan.
Foto Dokumen Pribadi
Meskipun untuk lalu lalang pengunjung, kebersihan tetap terjaga karena ada cleaning servis yang sigap untuk membersihkan lantai, baik di bangunan utama, Â samping maupun bagian belakang.
Foto Dokumen Pribadi
Ketika saatnya membayar, antri juga di kasir. Karena perhitungan makan dan minum yang paket, sehingga memudahkan kasir menjalankan pekerjaannya. Luar biasa. Suasana alami, natural, menjadi bagian konsep penyajian makan dan minum yang bisa mendatangkan pengunjung hingga ratusan setiap harinya. Sayapun hanya berdecak kagum pada owner yang konon mulai mengembangkan usaha serupa di luar kota Yogyakarta.
Memang butuh kreatifitas dan inovasi agar bisa memiliki branding.
Salam Sehat dan Bahagia Untuk Kita Semua.