Mohon tunggu...
heri bdp
heri bdp Mohon Tunggu... Ilmuwan - فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Aktivitas keseharian selalu membaca, tafakur dan tadabur alam, Tuhan dan manusia. Resolusi akhir, berharap tunduk patuh dihadapan-Nya dengan qalbun salim, ridha dan diridhai oleh-Nya, adalah gerbong pemberhentian yang hendak dicapai.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Abraham Maslow: Redifinisi Kebahagiaan Melalui Peak Experience

2 Februari 2021   20:25 Diperbarui: 2 Februari 2021   20:28 1740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: herbertrsim.com

Pada tingkatan bawah hierarchy of needs, kebutuhan dasar individu melingkupi kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, seperti pemenuhan makan, minum, tidur, oksigen dan olahraga (sandang, pangan, papan). Meningkat kebutuhan kedua, terdapat kebutuhan akan rasa keamanan, seperti stabilitas hidup, mendapat perlindungan, dan kebebasan dari ancaman kriminalitas maupum bencana alam. 

Pada tingkatan ketiga, terdapat kebutuhan akan rasa cinta, kasih sayang dan memiliki, seperti keinginan untuk berumah tangga, mempunyai keturunan dan bersahabat dengan orang lain. Tingkatan keempat, terdapat kebutuhan akan penghargaan seperti rasa hormat, harga diri, pengakuan  dan apresiasi. Dan pada tingkatan terakhir atau teratas, terdapat kebutuhan untuk aktualisasi diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Jalaludin 2020).

Namun, sebagaimana umumnya sebuah gagasan, pemikiran, konsep dan ataupun teori hasil kreasi manusia, tidaklah mungkin terlepas dari anomali-anomali dikemudian hari, Karl Popper menamakannya dengan falsification. Alasan logisnya adalah kebutuhan akan pemenuhan fisik, keamanan, kepemilikan, penghargaan dan aktualisasi diri selalu tampil beriringan, tapi tidak berlaku bagi sederet individu yang telah memperoleh kebutuhan tinggi, lalu meninggalkan kebutuhan dibawahnya. 

Sejarah telah mencatat, seseorang rela mempertahankan pandangannya dengan meneguk secangkir hemlock (racun dari ramuan tanaman mematikan) daripada mengikuti pola keinginan penguasa kala itu, dialah Socrates.

Begitu pula dengan keinsafan Maslow, konsep --hierarchy of needs-- nya tidak bisa menjelaskan secara logis bilamana individu telah memenuhi semua tingkatan, namun hidupnya tetap dalam kesederhanaan, ketamakan dan atau bahkan kehilangan arah dalam beberapa kasus di kehidupan individu. Untuk menjelaskan hal tersebut, 

Maslow mengajukan dan mengemukakan konsep metamotivation di luar konsep hierarchy of needs. Adalah peak experience atau pengalaman keagamaan sebagai salah satu bagian dari metamotivation. Hal ini bermakna, bilamana individu telah sampai ke tingkatan tersebut, maka dirinya terlepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan transendental, The One. Tegasnya Maslow, level peak experience adalah bagian dari kesempurnaan individu.

Urgensi Peak Experience di Era Postmodernisme

Menilik era postmodernisme, era dimana emotional quotient (kecerdasan emosional) dan spiritual quotient (kecerdasan spiritual) telah mendapatkan ruang, daripada sebelumnya yang tersingkirkan oleh intelligence quotient (kecerdasan intelektual). Di sisi lain, paradigma postmodernism yang dibangun, lebih cenderung untuk melihat berbagai fenomena emosional manusia pra-modernism, seperti perasaan, emosi, refleksi, intuitif, tradisi, metafisik, kosmologis, mitos dan pengalaman keagamaan (Ilham 2018). Maka, kehadiran serta pemaknaan terhadap metamotivation pada level peak experience adalah keniscayaan.

Dalam konteks perkembangan psikologi era postmodernism tersendiri, yang dimaksud kesempurnaan individu (peak experience) adalah sebuah proses perubahan kehidupan secara kualitatif, dengan tujuan untuk mendekati Tuhan (The One), dan dilakukan melalui tingkatan dimensi alam malakut (angelic realm). 

Dimana terdapat suatu keadaan, tatkala individu mengaktualisasikan dirinya, maka akan mengalami perasaan penuh kebahagiaan, ekstase, meronta-ronta dan penuh penghayatan. Keadaan inilah sebagai buah hasil dari peak experience, yang Maslow perhatikan dikalangan individu dengan kondisi sehat jasmani-rohani, melampaui keadaan individu pada umumnya, dengan perasaan yakin dan mantap terhadap kekuatan transendental, The One.

Sebagai contohnya, peak experience dari seorang mahasiswa yang notabene mapan secara finansial, terkenal dan mempunyai jabatan di sebuah organisasi. Namun, semua itu tidaklah bernilai dan atau terkalahkan dengan perasaan bahagia sekaligus terharu, ketika Ia bisa menolong secara finansial (meskipun dalam jumlah sedikit) kepada seorang kakek yang sempat dijumpainya di pinggir jalan. Dalam artian, perolehan kebahagiaan individu melalui peak experience jauh lebih bermakna, daripada kebahagiaan melalui pemenuhan kebutuhan dasar semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun